Sementara berdasarkan laporan BPBD Jabar, provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia ini rawan terhadap bencana gunung api aktif, gempa bumi, banjir, pergerakan tanah (longsor), tsunami, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kebakaran pemukiman, angin puting beliung, kegagalan teknologi seperti kecelakaan pesawat, serta kejadian luar biasa seperti demam berdarah.
Dari rekapitulasi bencana selama 2014-2019, BPBD Jabar mencatat ada 7.396 kejadian bencana, paling banyak pada 2019 dengan 2.057 kejadian bencana yang mayoritas adalah tanah longsor (625 kejadian) dan angin puting beliung (489 kejadian).
Adapun bencana banjir terjadi 164 kali pada tahun lalu. Sementara sejak awal 2020 hingga Februari, BPBD Jabar mencatat 57 kali kejadian bencana banjir serta 158 bencana longsor.
Daerah rawan banjir berada di wilayah Jabar utara dan tengah antara lain Kab. dan Kota Bekasi, Kab. dan Kota Bandung, Kab. Subang, Kab. Karawang, hingga Kab. dan Kota Cirebon.
Di Jabar bagian tengah dan selatan, 22 daerah rawan longsor di antaranya Kab. dan Kota Bogor, Kab. Majalengka, Kab. Sumedang, Kab. Tasikmalaya, serta Kab. Garut.
Terkait banjir, Stasiun Geofisika Bandung melaporkan bahwa puncak musim hujan di Jabar sudah terlewati sehingga curah hujan berkurang dan bersiap menyambut musim kemarau mulai Mei mendatang.
Tetapi, semua pihak masih harus mewaspadai potensi yang menyimpang dari pola, contohnya pada 24 Februari lalu di mana hujan sangat ekstrem sebesar 246 mm terjadi di Kec. Pusakanagara Kab. Subang yang menyebabkan banjir di Pantura Subang.
Hadir dalam rakor kali ini antara lain Kepala Bappeda Jabar, Kepala Basarnas Jabar, Kepala Dinas PSDA Jabar, Kepala Dinas Kesehatan Jabar, perwakilan Polda Jabar, Dinsos Jabar, Diskominfo Jabar, Stasiun Geofisika Bandung, Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Jabar, PMI Jabar, BBWS Ciliwung-Cisadane, BBWS Citarum, serta Karo Humas dan Keprotokolan Setda Jabar. (rls)