Di tengah maraknya isu Covid-19 masuk ke Indonesia, masyarakat berburu mencari obat-obatan untuk menangkal virus yang berasal dari Kota Wuhan Tiongkok ini. Salah satunya Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil (Emil) yang mengimbau perguruan tinggi, meriset bukti empiris klorokuin fosfat pada tumbuhan kina (Chinchona).
Tanaman yang biasa digunakan untuk pengobatan malaria ini disebut-sebut juga bisa mencegah pertumbuhan dan memblokade virus korona. Tapi sayangnya, budidaya pohon kina jumlahnya terus menyusut. Saat ini, perkebunan kina yang masih tersisa hanya di kawasan Bukit Unggul, Kabupaten Bandung yang berada di bawah pengelolaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.
Berdiri diatas lahan 708 hektare, perkebunan sekaligus pabrik pengolahan kulit kina yang beroperasi sejak tahun 1927 itu kini tinggal menyisakan sekitar 683.000 tegakkan atau 15 persen pohon dari jumlah ideal 1.000 pohon per hektar.
“Jumlah pohon kina di Bukit Unggul terus merosot seiring menurunnya produktivitas kualitas pohon karena pohon kina hanya diambil kulitnya saja,” ungkap Asisten Afdeling Bukit Unggul, Tatang Hidayat saat ditemui di lokasi, Selasa (17/3).
Lakukan berbagai upaya agar terus bisa berproduksi
Disaat manfaat kina yang semakin meningkat karena dapat menangkal berbagai macam penyakit, pihak perusahaan mengambil kebijakan tidak lagi melakukan penanaman. Untuk itu, pihaknya melakukan berbagai upaya agar terus bisa berproduksi dengan jenis tanaman yang masih ada.
“Pohon yang dipanen sekarang juga sisa penanaman tahun 2011 lalu, kalau pohon yang ada sekarang mati, produksi juga akan terhenti,” ucapnya.
Manager perkebunan Bukit Unggul, Yanyan Cahyana menerangkan, karena terbatasnya jumlah pohon kina, kini pihaknya hanya bisa mengolah kulit kina dalam sebulan sekali.
“Yang diambil dari pohon kina hanya kulitnya saja, tak jarang jika teknik pangkasnya salah, pohonnya jadi mati,” kata Yanyan.
Saat masa jayanya, Bukit Unggul menanam 4.439.500 pohon dengan asumsi 6.500 pohon per hektar dan mampu menghasilkan 100 ton tepung kina kering. Tetapi sejak PTPN VIII menjadikan kina sebagai komoditi penunjang dibawah komoditi utama teh, karet dan sawit, produksi kebun Bukit Tunggul terjun bebas hanya mampu mengolah 5 ton tepung kulit kina.