Oleh: Mang Eep Balad Uing*
TERMASUK Donald Trump, meremehkan corona, dan ribuan orang di Amerika meninggal dalam satu hari, demikian juga di negara maju lainnya. Itulah kondisi di negara maju, bagaimana kalau kejadian serupa terjadi di negara berkembang?
Equador memberikan contoh yang mengerikan, mayat disimpan di rumah mereka untuk beberapa hari, bahkan ada yang tergeletak di jalanan. Sekalipun penyebab kematian syareatnya karena corona bukan sebuah aib, namun dipastikan tidak akan ada yang berani menyentuhnya.
Ribuan orang yang positif corona dirawat di berbagai rumah sakit di negara maju, termasuk hotel disulap menjadi rumah sakit. Bagaimana kalau terjadi di Indonesia atau terhadap 1% positif jumlah penduduk di sebuah kabupaten misalnya, diyakini seorang bupati akan seperti Donald Trump memegang keningnya, namun tentu tidak akan menyalahkan Cina seperti Donald Trump yang menunjukkan sifat marah dan frustrasinya disebabkan hubungan transendental yang lemah terhadap rencana Alloh Yang Maha Sempurna—pasti banyak hikmahnya bagi mereka yang berpikir dan bermuhasabah.
Gubernur Jabar mengatakan, perbedaan Jabar dengan Korsel yang hampir sama jumlah penduduknya namun mempunyai persoalan yang berbeda, ekonomi salah satunya. Memang benar, Jawa Barat lebih mempunyai persoalan ekonomi dibandingkan Korea Selatan dan karenanya PSBB, social distancing, lockdown, termasuk diam di rumah akan menjadi persoalan ekonomi terbesar di Jawa Barat dan karena itu pula, “ketidaksabaran ekonomi” akan menjadi tuntutan terbesar saat pencegahan corona diberlakukan, selain kesiapan APD dan pengobatan seperti minggu kemarin (April) masih ada petugas medis menggunakan APD tipis yang mengkhawatirkan.
“Ketidaksabaran ekonomi” menjadi pergunjingan tanpa henti di kehidupan sehari-hari dan media sosial. Namun beras dan lauk pauk tidak kunjung datang ke rumah-rumah kecuali untuk sebagian orang saja. Padahal yang kemarin setiap hari senantiasa cukup bekal untuk merokok dan sekali-kali bisa makan di luar serta rumah berlantaikan keramik. Sekarang sudah pusing tujuh keliling karena tertutupnya peluang ekonomi.
Kepala desa sebagai garda depan pemerintahan hanya bisa mengeluh dalam obrolan sehari-hari. Kemauannya, BanGub diberikan saja uangnya untuk direcah menjadi sebanyak-banyaknya yang kebagian. Namun harapan itu pasti menjadi kandas karena Gubernur merencanakan BanGub atas pemikiran “top down” bukan atas pemikiran “bottom up.”