Di TEMPO saya hanya akan 1,5 bulan. Akan ada rotasi. Saya harus pindah ke media lain. Diundi lagi.
Saya berdoa keras lagi: agar mendapat tempat di Kompas. Pokoknya jangan sampai di PosKota.
Arselan Harahap datang ke TEMPO. Untuk menjemput saya. Waktu magang di situ sudah habis.
Tiba-tiba Arselan marah sekali. “Anda tidak boleh dipindah dari TEMPO,” ujarnya. “Pimpinan TEMPO minta agar Anda tetap di sini,” tambahnya. “Ini merusak program LP3ES,” gerutunya.
Saya diam saja.
Dalam hati saya senang sekali.
Hari berikutnya saya diberitahu oleh pimpinan redaksi TEMPO. “Saya minta Anda tetap di TEMPO,” ujar Bur Rasuanto –nama aslinya Burhanuddin Rasuan. Rasuan adalah nama kampungnya di Ogan Komiring Ulu, Sumsel.
Bur adalah sastrawan besar. Novelnya, Tuyet, saya baca dua kali. Ia-lah yang menciptakan kata ‘santai’ menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia. Konon kata itu ia comot dari bahasa di daerahnya.
Di masa tuanya almarhum Mas Bur –begitu saya memanggilnya– menjadi dosen filsafat di Universitas Indonesia.
Senin lalu saya bertemu kembali dengan Arselan Harahap. Lewat Zoom. Masih bekerja untuk LP3ES. Lagi menyelesaikan buku tentang Bung Hatta.
Wajahnya masih sangat segar. Gaya Jogja-nya masih sangat lembut –ia alumnus Universitas Gajah Mada.
“Dahlan, Anda berkhianat dua kali,” ujarnya sambil tertawa ngakak.
Yang satunya apa ya?
“Berdasarkan kontrak, Anda harus kembali ke Samarinda. Untuk memajukan koran di Kaltim,” katanya.
Rupanya Arselan lupa.
Saya benar-benar sudah kembali ke Kaltim. Ke Samarinda. Tetap bekerja lagi di koran Mimbar Masyarakat –koran mahasiswa yang beralih ke koran umum.
Memang, ketika pendidikan di LP3ES itu berakhir Mas Bur minta saya: jangan pulang. “Anda di Jakarta saja. Anda memenuhi syarat jadi wartawan TEMPO,” ujarnya.
Tapi saya menjawab bahwa saya terikat kontrak. Mas Bur ngotot. Tapi saya tidak mau. “Ya sudah. Anda pulang ke Kaltim tapi jadi wartawan TEMPO juga di sana,” ujarnya.
“Bolehkah saya tetap merangkap di Mimbar Masyarakat?“ tanya saya.