Lalu ia beli rumah di dekat situ. Beli lagi. Beli lagi. Tapi yang mau jadi santri di situ tidak banyak. Jarang yang kuat menjalani tirakat dan laku sufi seperti kiai Syaifullah. Apalagi kalau harus ikut menjalani apa yang dilakukan kiai.
Pelajaran di pondok itu sepenuhnya salaf –mengajarkan kitab-kitab lama yang tulisannya Arab tanpa tanda baca. Suatu saat sang kiai bertemu Kiai Asep Saifudin Chalim. Yang sangat sukses membangun pondok pesantren di Pacet –sisi utara kaki gunung Arjuno. Sukses jumlah santri maupun kualitasnya.
Tahun ini 400 lulusan Madrasah Aliyah Amanatul Ummah Pacet lulus masuk ke ITB, Unair, ITS, UGM, Undip, UNS, dan sekelasnya. Belum lagi yang terpilih kuliah di Al Azhar, Mesir dan di berbagai universitas di Tiongkok.
Kiai Asep pun memberikan pandangan ke kiai Syaifullah yang nyentrik itu. Agar Singa Putih mau membuka madrasah modern. Kiai Asep sanggup jadi penasihat di Singa Putih.
Jadilah Singa Putih membuka pesantren modern. Mula-mula hanya tingkat tsanawiyah (SMP). Sekarang sudah sampai Aliyah.
Gedung sekolahnya pun dibuat modern. Megah. Wajah depannya pun seperti bangunan Eropa lama. Pilar-pilarnya besar dan tinggi. Ada mahkota di bagian atas pilar itu. Lalu ada dua patung singa putih yang lagi mangap di atas gedung.
Kemarin malam bangunan itu diresmikan. Saya diminta hadir. Itulah gedung yang dikerjakan hanya selama 40 hari. Seluruh santri ikut membangun. Siang malam. Dengan arsitek kiai sendiri.
Di samping mengharamkan tidur bagi dirinya sendiri, sang kiai juga mengharamkan beristri lebih dari satu. Ia contohkan itu ke masyarakat. Kiai sendiri sering mengantar istrinya ke pasar.
Saat peresmian itu sang kiai minta ibunya naik panggung. Di situ kiai mencium kening ibunya. Mencium lutut sang ibu. Mencium kaki sang ibunda.
Ayah sang kiai sudah meninggal lama. Tapi sang ayah masih sempat menyaksikan kiprah anaknya itu membangun pesantren. Sang ayah juga sering ikut pengajian anaknya. “Ayah saya selalu saya pakai contoh sebagai ayah yang mulia. Yakni ayah yang tidak canggung ikut mengaji ke anak,” ujar kiai seperti ditirukan Sholeh.