Melayat Drive-Through

0 Komentar

Awalnya hanya bikin sandal. Di atas kompor dapur. Dengan bahan baku hanya satu lembar karet. Karet itu dipotong-potong. Dibakar di kompor. Di dalam rumahnya di Jalan Jagalan No 27 Surabaya.

Sang ibu yang mengerjakan pembuatan sandal dengan cara sangat tradisional itu. Bukan ayah. “Ayah itu hobinya main musik,” ujar Suhadi, adik Suwiro yang lain. “Beliau pandai memainkan alat-alat musik tradisional Tiongkok,” tambahnya.

Sandal sederhana ‘made in’ Mama itu dijual di toko Palen di rumah itu juga. Laku. Dan kian laku. Hasil jualan sandal itu dibelikan karet lagi. Kali ini dua lembar. Sang Mama yang menjadikannya sandal. Laku terus. Bisa untuk membeli empat lembar bahan baku.

Baca Juga:Bupati Pilih 5 Nama Pimpinan Baznas Kabupaten SubangBerminat Kerja di Jepang? Bisa Daftar ke Apdesi

“Sampai akhirnya kami bisa membeli bahan baku satu gulungan karet. Kami bahagia sekali,” ujar Suhadi.

Lama-lama rumah Jalan Jagalan itu khusus untuk pabrik. Untuk tempat tinggal pindah ke Jalan Arjuno. Sampai meninggalnya almarhum tinggal di Jalan Arjuno ini.

Rumah Jagalan pun tidak cukup lagi untuk pabrik. Mereka membeli lokasi agak di pinggir kota (waktu itu). Lalu membeli lahan baru. Dan lahan baru lagi. Hingga akhirnya menjadi delapan lokasi.

Itulah perusahaan besar warisan Mama yang menguasai teknik. Tapi dikembangkan ikut jiwa Papa yang menguasai seni.(Dahlan Iskan)

0 Komentar