Oleh: Yuyun Suminah, A.Md
Aktivis Muslimah Karawang
Siapa Yang tak mengenal dengan slogannya “dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat” pasti hafalkan? Ya. Slogan tersebut yang ada di sistem demokrasi, merupakan sistem yang banyak diadopsi oleh negara-negara yang ada dibelahan dunia termasuk Indonesia sendiri. Pertanyaannya ” Dari, oleh dan untuk rakyat yang mana?”
Seperti yang kita ketahui kalau demokrasi adalah sebuah aturan yang lahir dari sistem kapitalis-sekuler yaitu memisahkan aturan kehidupan dari agama. Indonesia merupakan masyarakat dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, seharusnya dalam kehidupan sehari-hari wajar memakai aturan agamanya.
Tapi dalam demokrasi aturan dibuat oleh manusia. Padahal kita tahu manusia punya keterbatan. Ketika membuat aturan pun standarnya asas manfaat, itu juga yang memberikan manfaat hanya kepada segelintir kecil masyarakat. Sebut saja masyarakat pemilik modal.
Faktanyan di tengah kondisi wabah para wakil rakyat malah mengambil kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Negara malah sibuk dengan pembahasan Omnibus Law ketimbang memikirkan nyawa rakyat. Ya, di tengah kondisi wabah yang semua sendi kehidupan terkena dampaknya mulai dari ekonomi, pendidikan, kesehatan bahkan pondasi sebuah kelurga pun “retak” seperti maraknya perceraian di tengah pandemi.
Selain faktor dari setiap individunya yang jauh dari agama, lemahnya iman dan tak lepas dari lalainya peran negara.
Bidang ekonomi menjadi masalah krusial bagi masyarakat, kenaikan bahan pokok, tarif dasar listrik dll. Menjadi pemicu sebuah keluarga memilih jalan bercerai karena kepala kelurga yang tidak bisa lagi mencukupi kebutuhan kelurga. Jadi Ekonomilah yang menjadi faktor utama perceraian.
Dunia pendidikan pun sama kebijakan pendidikan dengan belajar daring di rumah tak dilengkapi dengan fasilitas yang memadai, masih banyak rakyat yang kesulitan dalam memenuhi belajar daring tersebut seperti HP, kuota dan sinyal. Ketidak merataan pembangunan antara di daerah pelosok dan perkotaan masih jadi Pr besar. Pembangunan masih dipusatkan di perkotaan dari pada di daerah pelosok.
Masyarakat yang dekat dengan agamanya, taat kepada Tuhannya dikait-kaitkan dengan isu radikal. Seperti yang disampikan oleh Mentri agama yang kontraversi “Good Looking” menjadi pemicu isu radikal. Statmennya tersebut banyak menuai keceman dari masyarakat, walaupun pada akhirnya Menag mengklarifikasi stetmennya tersebut.