Peristiwa pengrusakan tempat ibadah atau pelarangan pendirian tempat ibadah, bahkan pengusiran umat beragama yang berbeda paham seperti yang dialami pemeluk Syiah di Sampang dan Ahmadiyah di Lombok, bukan hal baru di Indonesia. Peristiwa tersebut selalu saja terulang. Peristiwa yang tak jarang menelan korban jiwa dan harta tersebut, dipicu oleh kelompok tertentu yang memiliki pemahaman agama sempit.
Para pendiri bangsa ketika melahirkan dasar negara Pancasila -terutama sila pertama, memimpikan kehidupan beragama dibumi tercinta Indonesia ini, aman, damai, ada ruang dialog antar umat dan ada ruang interaksi konstruktif antar umat. Percis seperti yang dikatakan Benedict Anderson, kehidupan masyarakat yang diimpikan, immagened community. Kehidupan keagamaan masyarakat dilindungi Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kebebasan beribadah dan beragama di Indonesia. Serta regulasi turunan lainnya.
Agama mengajarkan kebaikan, mengajarkan tauhid dan yakin kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setiap agama meyakini ajarannya bisa membawa pemeluknya kepada surga dan kebaikan-kebaikan dunia dan akhirat. Maka para pemeluknya berusaha semaksimal mungkin untuk “menyenangkan” Tuhan Yang Maha Esa dengan berbuat kesalehan. Namun rasanya terlalu egois bila menyatakan bahwa agama yang dianut oleh orang lain tidak berhak untuk mendapatkan surga Tuhan. Sebab surga bukan milik manusia. Surga milik Tuhan-Allah. Maka sekehendak-Nya lah, surga diberikan kepada orang yang dikehendakinya.
Sifat ingin “menyenangkan Allah, kadang melewati batas. Klaim satu-satunya kebenaran yang dimilikinya atau kelompoknya menjadi sarana “menyenangkan” tuhan. Ketika melihat aktivitas atau ritual dari agama lain,yang dianggap akan mengganggu tuhan (dengan “t”kecil) yang disembahnya. Kelompok yang ingin “menyenangkan tuhannya”dengan berlebihan ini menganggap tuhannya akan tidak senang bila aktivitas ibadah atau tempat ibadah dari agama lain hadir di lingkungan sekitarnya. Anggapan mengganggu tuhannya dan keinginan “menyenangkan tuhannya” memicu sikap anarkis dalam bentuk perilaku perusakan, pengusiran hingga menghilangkan nyawa.
Sikap mau “menyenangkan tuhan” melahirkan egoisme beragama. Egoisme dalam beragama yang mengklaim bahwa surga hanya milik satu kelompok -atau kelomponya lah yang berhak benar dan merasa paling benar, serta sikap ingin “menyenangkan” tuhan yang disembahnya, melahirkan arogansi dalam beragama. Sikap ini -arogansi dalam beragama, melahirkan banyak tindakan kekerasan atas nama pembelaan terhadap agama. Wujud lahiriyah dari egoisme beragama ini adalah intoleran, kekerasan atas nama agama, klaim kebenaran sepihak yang pada ahirnya melahirkan bencana kemanusiaan. Sikap arogansi agama memiliki akar sejarah panjang pada semua agama. Sejak manusia mengenal Tuhan dan klaim ajaran agama yang paling benar dan memandang ajaran yang lain sesat atau salah, arogansi agama akan hadir. Aktornya bisa siapa saja. Namun selalu ada tokoh utama yang menggerakkan kecendrungan egoisme beragama umat dengan membakar paham keagamaan sempit umat. Paham keagamaan yang tidak menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Ketuhanan Yang Maha Esa hadir untuk meredam perilaku arogansi agama dan sekaligus melindungi rakyat dari perilaku arogansi agama.