Seri Belajar Filsafat Pancasila ke 26
Oleh: Kang Marbawi
Salam sejahtera untuk saudaraku sebangsa setanah air. Mari kita rasakan, kesegaran embun pagi yang menempel pada dedaunan. Agar kita peka terhadap rasa. Kepekaan rasa untuk peduli dan menebalkan ke-Indonesiaan kita.
Rasanya saat ini, harga nyawa manusia lebih murah dari pada sepotong daging ayam. Bahkan sekilo daging sapi limosin lebih mahal dibanding nyawa manusia, seolah tak berharga sama sekali. Mau bukti? Lihat dan perhatikan berita kriminal di televisi, hampir setiap hari ada berita pembunuhan. Dari bayi yang baru lahir beberapa detik sampai yang sudah tua renta. Cara matinya pun macam-macam. Pelakunya pun ada yang solo ada juga yang seperti anggota demo menuntut segala macam atau macam anggota pelari estafet.
Strata sosial pelakunya juga macam kue lapis, mulai aparat, orang biasa hingga orang pinggiran. Model kematiannya pun ada yang seperti model lagu instrumen, atau macam lagu pop hingga seperti musik cadas yang heavy metal-keras cetar membahana. Motiv kematiannya pun berwarna-warni bak lukisan suryalisme. Ada yang karena harta, cinta, persetruan, berebut pembagian telor, berebut benar dan klaim kebenaran agama, sampai karena “senggolan” tatapan mata. Bahkan kesalahan memahami ajaran agama menjadi salah satu pemicu perbuatan yang tak menghargai kehidupan.
Kekerasan seolah menjadi wajah bangsa ini. Semoga tidak menjadi budaya. Miris hati menyaksikannya hingga getaran rasa miris itu merambat ke sumsum tulang ekor.
Semiris membaca tulisan Elizabeth Fuller Collins yang menulis budaya kekerasan di Indonesia. Tulisan yang dipublikasikan di Asia Survey tersebut berjudul “Indonesia: A Violent Culture?” terbit tahun 2002 mengutip salah satu pejabat militer yang menyebut “budaya Indonesia itu sangat bengis (violent)”. Duh Gusti, runtuhlah semat:” Bangsa Yang Ramah dan Santun.
Miris hati juga sering dirasa, ketika melihat oknum pejabat atau siapapun yang tega menumpang hidup dari hak orang lain. Atau menjual “sesuatu” yang menjadi hajat hidup orang banyak. Demi kepentingan dan kesenangan pribadi, bayi udang yang belum “akil balig” pun dilego. Padahal bayi udang yang hidup dilaut itu, berontak! Jika bisa bicara, mereka ingin memilih dibesarkan diperairan Indonesia. Dari pada harus merantau ke negeri orang sejak “balita”, dan jika sudah gemuk besar, harus balik ke Indonesia atau melanglang buana ke negeri nun jauh. Bayi udang itu seolah ingin berkata: “biarlah kami besar dan gemuk di air asin Indonesia dan setelah kami gemuk dengan daging yang gurih, kirimlah kami kemanapun nelayan Indonesia mau. Agar nelayan Indonesia bisa gemuk seperti ikan paus. Tak punya hatikah mereka?”, kata bayi udang.