Seri Belajar Filsafat Pancasila ke 29
“Sisa”
Oleh: Kang Marbawi
Sekitar dua sampai tiga sendok sisa makanan masih tersisa di piring. Ada potongan ayam kuah,
secuil tempe dan tahu, irisan daging rendang, sejumput sambal, serpihan bakwan udang, irisan
sayur brokoli dan sayuran lainnya, kerupuk aneka warna dan tentu nasi yang tercampur dengan
berbagai kari, tak ketinggalan. Juga sepotong irisan buah semangka bekas gigitan. Sisa-sisa makanan tersebut, begitu saja ditinggal di piring, tanpa diperhatikan. Seolah tak menarik lagi. Padahal sebelumnya, nafsu melahap semua hidangan begitu besar, hingga mengalahkan luasnya piring makan dengan diameter 14 cm atau seluas 15,4 cm persegi.
Bisa jadi jika piring itu selebar nampan, mungkin terisi penuh dengan rakusnya nafsu. Memang, usus besar tempat menampung segala macam makanan tersebut panjangnya cuma 1,5meter dengan diameter 7,5 centimeter. Namun mampu “menghabiskan” gunung-gunung dan daratan serta “meminum” air di lautan yang tak hingga. Hanya bermodalkan keserakahan!
Tak elok ada piring teronggok di meja, dengan rupa blepotan kuah, sisa nasi campur berbagai macam sayur dan potongan tulang ayam tak utuh. Pelayan pun mengikisnya sesegera mungkin, seolah “barang najis” yang harus segera tersingkir dari meja hidangan.
Ritual menyisakan makanan selalu terjadi setiap hari, tempat, acara dan orang. Tanpa membedakan strata sosial, pendidikan, ekonomi dan pilihan politik. Bahkan bisa jadi politik selalu memiliki ritual untuk menyisakan keserakahan dan ketamakan! Dengan landasan kepentingan. Entah kepentingan siapa?
Sedikit yang sadar, ada orang yang untuk makan saja harus bersusah payah. Dan tak ada ritual mengingat bagaimana makanan yang terhidang sampai dihadapannya. Hanya ritual doa syukur atas makanan yang dihidangkan. Tak salah memang. Toh tak berdoa pun tak ditangkap malaikat! Apalagi Satpol PP! (Satuan Polisi Pamong Praja).
Sepiring hidangan yang terdiri dari berbagai macam masakan seperti disebut di atas, tidak begitu saja hadir dihadapan. Seolah hidangan turun dari langit sesuai selera pemesan. Dalam hidangan makanan tersebut, ada keringat dan dedikasi petani, pedagang, tukang masak dan bisa jadi tangisan harapan orang-orang yang tak sanggup membeli makan. Juga cinta seorang ibu untuk suapan yang tak pernah tersampaikan kepada anaknya, karena tak ada makanan. Ini bukan untuk mendramatisasi keadaan, seperti opera sabun beberapa sinetron yang sering “nongol” di tv.