Penguasa dan rakyat seakan beda kepentingan, padahal adanya penguasa adalah untuk mempermudah urusan rakyat. Terciptanya ketertiban dan kesejahteraan. Sebagaimana sabda Rasulullah “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Hadis di atas sangatlah jelas bagaimana posisi penguasa bagi rakyat, penguasa adalah pelayan, dengan kewenangan kekuasaan yang ada padanya ia diminta syariat memenuhi seluruh urusan rakyat, dari mulai ekonomi, kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, papan dan keamanan. Semua harus disajikan dalam kualitas terbaik, itulah kebijakan prioritas yang hakiki.
Pengurusan totalitas pastilah butuh biaya yang tak sedikit, lantas darimana negara mendapatkannya? Bukan dari utang dan pajak, secara rinci Islam telah menunjukkan cara untuk mempermudah penguasa mengurusi rakyatnya, yaitu dengan pengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Justru Islam melarang utang yang berbasis riba seperti saat ini berikutnya juga melarang pajak, sebab pemahaman pungutan dalam Islam samsekali tak serupa dengan pajak.
Pungutan negara ini disebut dengan Dharibah. Diambil dari kaum Muslimin yang kaya ( akan dilihat secara dhohir) jika keadaan kas negara ( Baitul mal) kosong, yang jika keadaannya terus kosong akan berbahaya pada nasib pegawai negara, pembangunan fasilitas umum seperti jembatan, rumah sakit, gedung sekolah dan lain-lain. Maka negara memungut seketika, tidak terus menerus, berhenti ketika dana yang dibutuhkan sudah cukup.
Kita bisa berkaca ketika Khalifah kaum Muslim dijabat oleh Umar bin Khattab, suatu kali pernah bertutur, “Seandainya seekor keledai terperosok ke sungai di kota Baghdad, nicaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya dan ditanya, ‘Mengapa engkau tidak meratakan jalan untuknya?’.”
Ini menunjukkan bahwa prioritas penguasa adalah kemaslahatan rakyatnya bukan yang lain, hal ini butuh pemimpin yang bertakwa, yang takut kepada Allah SWT jika tak amanah. Sebab satu kebijakan penguasa tak tepat maka rakyatlah yang menderita. Wallahu a’ lam bish showab.