Realita berulangnya kenaikan pangan dengan solusi-solusi parsial yang ditawarkan, sudah menjadi watak asli kapitalisme liberal yang ada saat ini. Sebuah paham yang diadopsi negara dalam mengatur perekonomian masyarakat. Selalu pihak pemodal yang diuntungkan ketimbang kesejahteraan pedagang khususnya, dan masyarakat umumnya.
Sumber kekayaan Indonesia sebetulnya melimpah, di daratan dan lautan. Dari Sabang hingga Merauke. Banyak area yang harusnya dijadikan lahan untuk pembudidayaan, pengembangbiakkan pertanian, perkebunan dan peternakan. Namun, alih-alih menggenjot upaya swasembada pangan, membangkitkan semangat rakyat serta mensejahterakannya, pemerintah justru melirik peluang “untung” dari impor. Sampai kapan kondisi ini menimpa negeri?
Selama negara masih berada pada sistem ekonomi kapitalisme, maka sampai kapanpun perekonomian negeri ini tak akan membaik. Sebab, perekonomian saat ini dikuasai hukum rimba. Siapa kuat, dia dapat. Ada pemodal ada manfaat. Fakta ini diperkuat lagi dengan keberadaan negara (pemerintah) sebagai regulator dan fasilitator pengusaha. Jadilah Indonesia surganya korporat dan neo imperialisme.
Satu-satunya cara mengakhiri ketidakmampuan negara mengurus perekonomian bangsa adalah dicampakkannya sistem kolonial di atas diganti dengan sistem perekonomian Islam di bawah institusi syariah kaffah. Mengapa harus sistem ini?
Perekonomian yang diterapkan institusi Islam telah memberi gambaran kongkrit akan kesejahteraan yang ditimbulkannya. Masa Rasulullah saw. saat menjadi kepala negara di Madinah, hal pertama yang dibenahi beliau adalah masalah ekonomi hingga berlanjut masa kekhilafahan. Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib ra. dan seterusnya sampai tahun 1924 M masa khilafah Utsmaniyyah.
Perluasan wilayah negara masa kepemimpinan khulafaurrasyidin dengan futuhatnya menuntut pengalokasian harta sesuai arahan syariat. Tidak diperkenankan harta itu berputar hanya pada orang kaya saja (QS. Al-Hasyr [59]:7); dibolehkannya aktivitas jual beli, namun diharamkannya aktivitas ribawi (QS. Al-Baqarah [2]: 275). Inilah salah satu praktik pemimpin bersama umat dalam koridor keimanan.
Selain praktik pemimpin Islam menanamkan akidah dalam beragam kegiatan masyarakat, negara pun akan menempatkan pegawainya untuk menjaga pelanggaran hak publik. Qadhi hisbah misalnya. Pegawai negara ini akan ditempatkan di area pasar dalam rangka mengawasi praktik kecurangan, penipuan yang dilakukan pedagang terhadap pembeli atau sebaliknya, dimana antar keduanya ada hak-hak yang dilanggar.