KEKERASAN terus terjadi di Myanmar sejak kudeta 1 Februari lalu. Setidaknya total sudah 50 lebih nyawa melayang karena tindakan keras aparat ke para pendukung pemerintahan sipil.
Setelah PBB melaporkan 18 nyawa hilang dalam demo berdarah Minggu (28/2), korban tewas kembali terjadi Rabu (3/3). Lembaga itu melaporkan 38 pendemo anti-kudeta tewas, termasuk empat anak-anak.
“Hari ini adalah hari paling berdarah sejak kudeta terjadi pada tanggal 1 Februari. Hanya hari ini, 38 orang meninggal. Kami sekarang memiliki lebih dari 50 orang tewas sejak kudeta dimulai, dan banyak yang terluka,” kata utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, mengatakan di New York sebagaimana ditulis Reuters Kamis (4/3).
Baca Juga:25 Orang Lebih Insan Pers Disuntik Vaksin Minggu Depan di SubangLadang Ganja Seluas 5 Hektare Berhasil Diungkap Tim Gabungan
Burgener mengatakan bahwa saat ini PBB semakin intens untuk menekan militer Myanmar untuk menghentikan aksi-aksi yang menewaskan pendemo itu. Bahkan PBB siap untuk menjatuhkan sanksi bila hal ini tidak diindahkan.
Namun jawaban Myanmar di luar ekspektasi. Burgener menyebut salah satu petinggi militer malah mengatakan negeri itu terbiasa dengan sanksi dan biasanya selamat.
“Ketika saya juga memperingatkan mereka akan masuk (ke) isolasi, jawabannya adalah ‘Kita harus belajar berjalan hanya dengan sedikit teman’,” ujarnya lagi menerangkan.
Sementara itu Amerika Serikat (AS) mengaku sangat khawatir dengan situasi di Myanmar. Di Washington, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan Amerika Serikat “terkejut” dengan meningkatnya kekerasan.
Pemerintahan Presiden Joe Biden sedang mengevaluasi langkah-langkah yang tepat untuk menanggapi. Tindakan apa pun akan ditargetkan pada militer Myanmar.
Sebelumnya AS beserta beberapa negara lainnya dan Bank Dunia juga telah menjatuhkan sanksi dan penghentian pemberian bantuan terhadap Myanmar. Hal ini dikarenakan tindakan junta militer yang sangat represif melawan pendemo yang menetang aksi kudeta yang dilakukan saya pertahan negara itu.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak 1 Februari ketika militer Myanmar melancarkan kudeta menahan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi. Kudeta itu mengakhiri era demokrasi selama satu dekade terakhir dan memicu protes massa setiap hari.
Baca Juga:Jelang HBKN, Mentan Pantau Ketersediaan Sapi Potong dan Daging BekuCerita Karyawati Merekam Kelakuan Bosnya yang Lakukan Pelecehan Seksual
Militer melakukan hal ini karena mereka merasa pemilu yang dimenangkan kubu Suu Kyi pada November lalu adalah pemilu yang penuh kecurangan. Maka itu, militer menyatakan keadaan darurat selama setahun kedepan dan mengambil alih kekuasaan. Selain itu mereka berjanji akan mengadakan pemilu ulang.(red)