Di Indonesia ada barongsai, ada lenong, ada kesenian tradisional. Di Indonesia ada sorabi, ada kue putu (ternyata putu itu, persatuan usaha tenaga uap), ada klepon yang sempat dianggap tak islami, ada burger made in kaki lima, ada rendang, ada teh tarik telor, ada bir pletok, ada wedang uwuh. Tak cukup 10.000 kolom di pasundan ekspres untuk menuliskan betapa kayanya kuliner dan kearifan lokal Indonesia.
“Kita adalah Indonesia”. Kita yang mencintai produk-produk Indonesia adalah gambaran sila ketiga ”Persatuan Indonesia”. Sebab mencintai Indonesia, tak memandang etnis. Etnis apapun. Selama masih disebut Indonesia, apapun itu kita cintai. Titik. Walau kadang cinta kita dinodai oleh keserakahan dan egoisme (agama, politik, dan kepentingan) sekelompok orang
“Cintailah produk-produk Indonesia.” Kata-kata Alim Markus yang terkenal hingga saat ini. Tapi kata itu berhadapan dengan impor komoditas. Juga impor satu juta beras. Entah kenapa dan mengapa. Karena petani Indonesia masih bisa merawat sawah dan menghasilkan beras yang dimasak dipenanak nasi merek Maspion. Atau dapur berbahan bakar kayu.
Petani, nelayan, dan segala jenis rakyat Indonesia harus dihidupi kita. Bukan kita yang dihidupi oleh mereka. Jangan sampai Indonesia dihisap, sakwa-sangka, stereotip dan gelaran syahwat keserakahan. Indonesia akan layu, jika tak dihidupi dengan kecintaan, kebersamaan, kesederhanaan, kemajemukan, persaudaraan dan nasionalisme. Menghidupi Indonesia dengan mencintai apa yang ada di Indonesia. Itulah Persatuan Indonesia. Salam, Kang Marbawi