“Ce qui constitue une nation, ce n’est pas de parler la même langue, ou d’appartenir à un groupe ethnographique commun, c’est d’avoir fait ensemble de grandes choses dans le passé et de vouloir en faire encore dans l’avenir.”
“Apa yang membuat satu bangsa, bukanlah menutur bahasa yang sama, atau menjadi bagian dari kelompok etnografis yang sama, tetapi sempat membuat hal-hal besar pada masa lampau dan ingin membuat lagi hal-hal besar pada masa depan”.
Entah satu sekolah atau sama-sama nongkrong di warung kopi dengan Ernest Renan, Otto Baeur juga ngomong yang sama soal bangsa. Orang Jerman yang mendukung Pan Jermanik dan nasionalis ini berpendapat, bangsa itu lahir karena orangnya sama dalam budaya dan memiliki pengalaman sejarah yang sama.
Inilah pertautan hati. Itulah yang kemudian oleh Tilaar disebut sebagai cita-cita nasional. Yaitu keinginan bersama untuk membentuk sebuah negara bangsa yang adil dan makmur.
Pertautan hati meleburkan egosentrisme kesukuan, strata sosial dan segala atribut identitas. Pertautan hati yang melahirkan keinginan hidup bersama dalam satu kelompok yang terdiri atas berbagai suku, budaya, ras, bahasa, agama dan adat istiadat. Pertautan hati yang melahirkan ukhuwah basyariah dan menuju kepada ukhuwah wathoniah -cinta tanah air. Pertautan yang melahirkan persaudaraan sebangsa, setanah air.
Pertautan hati, hadir dari kesadaran upaya masa lalu yang lahir sebagai cita-cita untuk menjadi satu bangsa. Pertautan hatilah yang melahirkan persatuan sebangsa setanah air. Tanpa pertautan hati yang didasari oleh kemanusiaan, keadilan dan ketuhanan tak mungkin hadir persatuan. Walau sering kali muncul persatuan yang didasarkan atas identitas sosial yang dibuat untuk kepentingan sendiri. Persatuan yang didasari atas kepentingan sendiri sungguh tak ada faedah untuk bangsa. Juga tak berfaedah untuk masyarakat. Bahkan menjadi duri bagi bangsa. Lihat pertautan para ektrimis kekerasan, koruptor, dan kelompok-kelompok pemburu rente.
Pertautan hati adalah inti dari sila ke tiga Pancasila “Persatuan Indonesia”. Pertautan hati yang melahirkan kerelaan untuk berkorban dan mengabdi tanpa pamrih. Pertautan hati yang melahirkan sikap empati dan menghargai sesama. Pertautan hati yang melahirkan sikap mencintai Indonesia dengan cara masing-masing. Tentu bukan dengan menjual Indonesia untuk kepentingan pribadi. Atau mengabaikan apa yang dimiliki rakyat dengan mendatangkan apa yang sama dari luar. Padahal kita bisa dan sanggup mengadakannya. Pemenuhan kebutuhan nasional menjadi alasan komodifikasi untuk impor.