Kebijakan impor komoditas pangan ini memang sudah sejak lami menuai polemik di tengah masayarakat dan menjadi topik diskusi panas di kalangan para akademisi dan praktisi yang berkecimpung di bidang pertanian.
Pemerintah seringkali tidak konsisten dalam mengambil kebijakan. Di satu sisi gencar mengkampanyekan program swasembada pangan, namun disisi lain malah getol melakukan impor komoditas pangan. Tentu kebijakan yang inkonsisten ini membuat masayarakat bingung bahkan dirugikan, petani contohnya. Apalagi kita ketahui dalam struktur sosial masyarakat di Indonesia, petani berada pada posisi terendah. Angka kemiskinan didominasi oleh penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani.
Susah payah petani berusahatani dengan ongkos produksi yang sangat mahal (akibat pupuk langka dan mahal). Pada saat hendak penen, petani malah dihadapkan dengan kebijakan impor. Maka wajar jika angka statistik petani semakin berkurang dari tahun ke tahun sehingga pemerintah perlu membuat program bagi milenials agar tertarik pada bidang bertanian. Seperti program Youth Entrepreuneurship and Employment Support Service Programe (YESS). Program ini bertujuan menghasilkan wirausaha muda pedesaan dan tenaga kerja kompeten serta peningkatan pendapatan pemuda melalui kewirusahaan dan pekerjaan di sektor pertanian. Namun demikian, program ini tidak akan berhasil, jika pemerintah masih terus mengeluarkan kebijakan impor produk pangan.
Dalam pandangan ekonomi Kapitalis, Pertanian adalah salah satu komoditas yang termasuk dalam agenda perdaganga bebas. Cirinya adalah sektor pertanian tidak diizinkan menerima subsidi penuh, sehingga biaya produksi hingga harga jual diserahkan secara bebas pada pasar. Pihak yang memiliki modal besar akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pihak yang bermodal kecil. Misalnya pemilik modal besar yang berkecimpung dalam impor komoditas pertanian akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari kuota impor yang dikeluarkan oleh pemerintah. Apalagi, alasan impor dalam pandangan kapitalisme hanya dilihat dari segi efisiensi berupa manfaat yang hanya dinilai dari sisi materi. Secara kasat mata, impor memang jauh lebih murah dibandingkan swasembada. Namun, dalam pandangan politik pertanian Islam, tidak hanya memandang dari sisi manfaat/keuntungan semata, tapi jauh dari pada itu. Yakni ketahanan pangan negara dan bagiaman menjaga stablitias negara dalam mengokohkan kedudukan negara di mata negeri lain.