Dalam kitab Syekh Taqiyuddin an Nabhani, Al-Syakhsiyah-Al Islamiyyah, 2/324, ada tiga cara penetapan upah, yakni:
Pertama, upah ditentukan atas kesepakatan buruh dengan perusahaan. Penetapan besaran upah, jenis pekerjaan, waktu bekerja, merupakan akad berdasarkan keridaan kedua belah pihak, tidak boleh ada yang merasa dirugikan. Pekerja berhak mendapatkan upahnya jika pekerjaan telah dilakukan sesuai akad. Jika dalam akad tersebut ada kesepakatan pemberian THR atau tunjangan lainnya, maka pengusaha harus menunaikannya sesuai kontrak kerja yang telah disepakati.
Dari ‘Abdullah bin Umar, Rasulullah saw. bersabda: “Berikanlah kepada seorang pekerja upahnya, sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibn Majah)
Baca Juga:Rakyat Hemat dengan Kompor Listrik, Benarkah?Wabah Kian Rentan Jika Sekadar Mengandalkan Desinfektan
Kedua, jika tak terjadi kesepakatan, upah ditetapkan oleh seorang ahli (khubara‘) yang dipilih oleh wakil perusahaan atau pekerja.
Ketiga, jika masih belum terjadi kesepakatan, maka upah ditentukan oleh seorang ahli (khubara‘) yang dipilih oleh negara.
Jika kesepakatan upah tidak ditunaikan oleh perusahaan (musta’jir) padahal ia mampu, maka praktik ini termasuk perkara kezaliman. Islam, selain memiliki seperangkat aturan terkait upah, juga memiliki aturan sanksi yang akan diterapkan oleh negara, (khalifah) kepada pelaku kezaliman sebagaimana hadis dari Nabi saw. berikut:
“Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezaliman.” (HR.Bukhari no.2400 dan Muslim no. 1564)
“Orang yang menunda kewajiban, halal kehormatan dan pantas mendapatkan hukuman.” (HR. Abu Dawud no. 3628, An Nasa’i no. 4689, dan Ibn Majah no. 2427, hadis ini hasan)
Menunda hak pekerja selain bentuk kezaliman ternyata pelakunya akan dimusuhi oleh Allah kelak pada hari kiamat. Dalam sebuah hadis qudsi riwayat Abu Hurairah, Allah berfirman:
“Tiga orang, Aku yang akan menjadi musuhnya pada hari kiamat: Orang yang berjanji dengan menyebut nama-Ku lalu dia melanggarnya, orang yang menjual orang merdeka lalu ia menikmati hasil penjualannya, dan orang yang mempekerjakan orang lain, namun setelah pekerjaannya selesai ia tunaikan, upahnya tidak dibayarkan.” (HR. Bukhari 2227)
Baca Juga:Wujudkan Sukses RamadhanEkosistem Data, Berpotensi Langgengkan Hegemoni Korporasi
Demikianlah tuntunan Islam tentang hak pekerja yang wajib dipenuhi pihak yang mempekerjakannya (musta’jir), baik individu atau pengusaha. Tuntunan ini hanya akan terealisasi dan dirasakan keadilan serta kesejahteraannya, manakala sistem yang menaungi hak dan kewajiban umat itu tegak di tengah umat. Yaitu sistem pemerintahan yang akan menerapkan Islam secara sempurna dan menyeluruh dalam kehidupan masyarakat.