Tentu Pemkab Subang pun tinggal menagih komitmen itu. Sebab kini PTPN sudah open dan lentur. Tidak lagi kaku pada bisnis plan perkebunan teh saja. Apalagi beberapa pabrik pengolahan teh sudah uzur, perbaikannya pun butuh biaya besar.
Rasanya tepat jika kemudian Kementerian BUMN ikhlas melepaskan lahan Perhutani dan PTPN untuk pembangunan jalan alternatif Serangpanjang-Cipendeuy. Sebab hal itu penting bagi ekonomi masyarakat.
Di kiri-kanan jalan itu akan berkembang ekonomi baru (baca: Bukit Nyomot). Di antaranya seluas 1.200 Ha akan digunakan untuk menanam manggis. Bisa juga digunakan untuk olahraga aero-sport para layang. Semua rencana pembangunan, baik jalan, jembatan dan pengembangan ekonomi berbasis pertanian-perkebunan sudah disiapkan DED-nya.
Bukankah itu kawasan serapan air?
Baca Juga:Airin Azzahra Indahkirani Dalami Kempo Sejak DiniBalai Pemasyarakatan Kelas II Subang berbagi Sesama
“Ya gak masalah di sana itu jadi food estate asal jangan bikin pabrik garmen saja. Pengembangan kawasan itu masih sesuai dengan RTRW 2014,” ujar seorang pejabat Pemkab Subang. Dia memang dulu sempat mendesain rencana pembangunan karena masih di BP4D (Bappeda).
Kepala Dinas Ketahanan Pangan Hendrawan juga menegaskan, masalah lingkungan dapat dihindari dengan melakukan penanaman pohon keras seperti manggis, rambutan dan duren. “Lalu dilakukan pula penataan, penghijauan di kawasan DAS hulu,” jelasnya.
Bupati Kang Jimat menyebut ada sekitar 6.000 Ha lahan tidur yang bisa dimanfaatkan untuk masyarakat. Kawasan hijau itu terlihat sejauh mata memandang dari Puncak Bukit Nyomot. Baginya, lahan seluas itu lebih baik ditanami apa saja yang bermanfaat untuk masyarakat.
Teori dan pemikiran yang sederhana itu, juga menurut saya benar adanya, kadang seringkali terbentur dengan administrasi pemerintahan. Terutama tentang status kepemilikan tanah. Terlebih, jika diteruskan, hal itu akan disebut pelanggaran hukum. Begitulah sengketa lahan terus berulang.
Warga yang miskin, tidak punya lahan, akhirnya menempati lahan milik negara. Sebulan, dibiarkan, setahun dibiarkan, lalu setelah 10 tahun ‘negara’ datang mengambil alih lahan itu. Dengan alasan warga miskin itu tidak punya hak atas tanah. Negara seringkali datang dengan tangan besi.
Tapi, jika menyimak pernyataan Dirut PTPN VIII tadi, sebaiknya kita meyakini bahwa PTPN kini dan dahulu sudah berbeda. Itulah mungkin sebabnya, komandan pembebasan lahan yaitu Bu Nenden bisa dengan mudah melobi dan membebaskan lahan.