Peran Ganda Perempuan Hadapi Industrialisasi

Peran Ganda Perempuan Hadapi Industrialisasi
0 Komentar

SUBANG-Ketua Forum Buruh Perempuan Subang, Esti Setyoroni dalam momentum Hari Kartini, mencurahkan keresahannya selama bergelut di dunia perburuhan perempuan di Subang, terutama dalam menghadapi era industrialisasi.

Menurutnya, jauh sebelum Subang di gadang-gadang menjadi kawasan industri atau sekitar 10 tahun yang lalu, zona industri garmen di Kabupaten Subang sudah sangat menjamur. Ada sekitar 21 perusahaan sektor garmen yang menyerap tenaga kerja mayoritas perempuan.

“Di satu sisi bicara soal kodrat perempuan, atau saya lebih suka menyebutnya dengan kalimat kontruksi sosial. Dimana perempuan mempunyai tugas dan tanggung jawab domestik, sedangkan laki-laki dibebani tugas dan tanggung jawab di wilayah publik, karena perempuan dan laki-laki memang dilahirkan dengan tugas dan tanggungjawab yang berbeda. Hal itu, menjadikan munculnya situasi perubahan sosial yang mencolok,” paparnya.

Baca Juga:Problematika Ibu Rumah Tangga dan PekerjaPemilih Terbanyak, Keterwakilan Legislatif Minim

Ketika perempuan mampu menjalankan peran ganda, lanjut Esti, selain tugas-tugas domestik, secara sosial perempuan menjadi tulang punggung keluarga. Tetapi kemudian, tidak berbanding lurus dengan perlindungan yang harusnya diterima, baik secara fisik atau pun verbal.

“Kondisi kerja para perempuan-perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga dibalik tembok pabrik sangat dilematis. Lalu muncul pertanyaan, Seberapa eksis buruh perempuan melindungi haknya di tempat kerja?” tambahnya.

Sangat jauh dari harapan, banyak yang memilih diam, pasrah bahkan menyerah tanpa syarat untuk sebuah kelangsungan hubungan kerja ketika buruh perempuan dihadapkan pada kondisi hak mereka yang dirampas. Jika pun ada yang berani bersuara, kebanyakan justru mereka menyuarakan intimidasi kepada sesama buruh perempuan atas nama tanggung jawab atau tuntutan produksi.

“Misal, buruh perempuan dengan jabatan supervisor atau chief, akan berteriak dan membentak anak buahnya atau operatornya untuk pencapaian target dengan teriakan yang sangat melecehkan. Tidak hanya sekedar teriakan tingkatkan target, tapi kadang berlebih menjadi body shaming dan sebagainya,” jelasnya.

Dia menyebut contoh peristiwa itu dengan ‘eksistensi yang terjungkal’. Artinya, eksistensi perempuan itu ada, meskipun tidak sesuai harapan perempuan pada umumnya. Jika kita melihat perkembangan saat ini, Subang, sambung Esti, dengan segala ‘keseksiannya’ yang didaulat menjadi kawasan industri, sejauh mana eksistensi perempuan terhadap peralihan dari zona industri menjadi kawasan industri.

0 Komentar