Kecewa Skala 9,5

Jurnalistik
Jurnalistik
0 Komentar

Dia sempat diajak berkunjung ke UI. Dia kaget melihat banyak orang naik kereta api di atas atap gerbong. Dia prihatin melihat begitu banyak pengemis di pinggir jalan. Dia merasa tidak bisa hidup di Indonesia.

“Dia terlalu rasional,” kata Effendi.

Maka jadilah Effendi jomblo berkepanjangan. Intelektual tapi jomblo. Jomblo tapi intelektual. Ia pun masuk grup jomblo berkualitas.

Jodohnya baru ketemu ketika ia berumur 42 tahun. Yakni Hikmah Ridho Ali Alatas. Umurnya sama –hanya angkanya dibalik. Ia keluarga Shihab yang juga keluarga Alatas.

Baca Juga:Kena Tipu, Puluhan Warga Dijanjikan Bekerja di PT HMMISila Pancasila Ternyata Saling Berlandasan

Kekecewaannya yang 9 itu sudah lama lenyap. Kini istrinya itu menjadi sumber kebahagiannya. Angka kebahagiaan itu mencapai 9,96. Melebihi kebahagiannya menjadi bintang acara TV Republik Benar Benar Mabuk (9,95), menjadi pelawak stand up comedy (8,5), dan menulis (9,5). Ia berseloroh lebih bahagia ketika membaca Disway daripada menulis karya jurnalisme. Ia pernah jadi wartawan mingguan Bola, grup Kompas.

Memang banyak orang kaget ketika Effendi tampil di TV. Terutama ketika ia bicara soal benur dan lobster. Tidak banyak yang tahu kalau Effendi itu anak nelayan. Masa kecilnya bergelut dengan ikan dan udang. Yakni di kampung kelahirannya, Parak Nipah –di Muaro Padang.

Ia baru ke Jakarta setelah tamat SMA terbaik di Padang saat itu, Don Bosco –untuk kuliah di UI. Di UI pula Effendi meraih gelar master komunikasi.

Effendi kemudian mendapat beasiswa Fulbright –menandakan ia orang pilihan. Otaknya. Ia kuliah di Cornell University, Ithaca, New York. Itulah salah satu universitas papan paling atas di Amerika. Yang kampusnya tidak begitu jauh dari Niagara.

Gelar doktornya diperoleh dari Radboud University di kota Nijmegen, Belanda. Yang letaknya sudah lebih dekat ke perbatasan Jerman.

Meski sudah melepas gelar profesor, Effendi tetap mengajar di UI. “Masih dua calon doktor yang saya bimbing di UI,” katanya.

Yang ia agak masygul adalah memikirkan akibatnya pada Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama). Dari situ ia mendapat guru besar. Universitas itu begitu ingin terus menambah jumlah profesor. Agar bisa segera membuka program S3. Justru kini kehilangan satu.

0 Komentar