Ide Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Oleh: Muhamad Salamun, Gr., S.Pd
(Guru SMAN 46 Jakarta, Pemenang Peringkat 4 Pada Kegiatan Diseminasi Peraktik Baik Penjaminan Mutu Pendidikan Jenjang SMA Tahun 2020, LPMP Provinsi DKI Jakarta)
2.Drs.H.Priyono,M.Si ( Dosen Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Kolumnis Radar Solo Jawa Pos dan Pasundan.jabarekspres )
Negara Indonesia adalah negara agraris karena sebagian besar penduduknya masih menggantungkan hidupnya dari tanah pertanian, selain itu man power atau tenaga kerja juga masih terserap di bidang pertanian. Hamparan tanah sawah seluas sebesar 7.463.948 ha pada tahun 2019 dan diuntungkan punya iklim tropis dimana sinar matahari dapat membantu menanam sepanjang tahun, namun seiring dengan perkembangan pembangunan, kini telah terjadi konversi lahan pertanian ke non pertanian yang cukup agresif terutama di daerah pinggiran kota. Lebih ironis lagi , negara kita bukan pengeksport beras tapi malah sebaliknya. Ada apa dengan struktur agraris?
Baca Juga:Kesejhateraan Buruh Kian TerpurukSuka Duka Guru Mengajar di Masa Pandemi Covid-19
Struktur agraris berarti pangan jadi kata kunci. Berbicara tentang kebutuhan primer setiap manusia, maka kata pangan bisa dipastikan adalah kata yang akan terucap pertama kali. Manusia mungkin bisa saja tidak memiliki rumah (papan) maupun pakaian (sandang) dan mampu menjalani kehidupan, namun pertanyaannya adakah manusia yang bisa hidup tanpa terikat dengan kebutuhan akan makan (pangan). Jawabnya tentu saja tidak, sangat mustahil. Hal ini dibuktikan dari setiap sejarah proses kehidupan dan perkembangan hidup manusia baik di masa lampau hingga masa kini tidak lepas dari yang makanan. Mulai dari food gathering sampai kepada food producing. Mulai dari kehidupan berburu hewan liar sampai berhasil menaklukkan hewan untuk kemudian melakukan peternakan.
Permasalahannya kini, setiap kelahiran satu manusia di bumi membawa tiga kebutuhan dasar sekaligus, yaitu : pangan, sandang maupun papan yang membutuhkan sebuah areal/tempat untuk memproduksinya. Tak heran jika akhirnya muncul pertanyaan besar yang berasal dari sebuah kekhawatiran, yaitu “Apakah bumi atau tempat hidup manusia mampu menyediakan hal tersebut bagi manusia yang jumlahnya terus menerus bertambah”. Bahkan seorang pakar ekonomi bernama Robert Thomas Malthus, seorang pendeta yang kritis, kelahiran Inggris, tidak tega melihat kondisi kelaparan di inggris kemudian mencetuskan teori bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sedangkan pertumbuhan ketersediaan pangan mengikuti deret hitung. Jikalau mengaminkan apa yang dikatakan Malthus tentu saja akan menimbulkan kepanikan yang luar biasa, karena kesimpulan dari teori tersebut, jika pertumbuhan manusia pada puncak kulminasi maka disaat itu ketersediaan pangan tidak mampu mencukupi bagi manusia yang ada. Belum lagi masalah non teknis seperti kemarau panjang, banjir, letusan gunung turut andil dalam proses gagalnya panen, menyebabkan bencana kelaparan menghantui kehidupan. Pendekatan religi tentu berbeda dengan pendekatan material. Allah dalam firmannya QS 55: 10-12 menyediakan bumi untuk machluknya agar bisa menyelenggarakan kehidupan turun temurun dan sampai kemudian Allah bertanya sampai diulang 32 kali : Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?