Kesejhateraan Buruh Kian Terpuruk

Kesejhateraan Buruh Kian Terpuruk
0 Komentar

Oleh : Ade Rosanah (Ibu Rumah Tangga)

Satu Mei atau disebut juga May Day, merupakan peristiwa penting bagi kaum buruh. Di hari itu, mereka memeringati dan menyuarakan aspirasinya sebagai kaum buruh melalui berbagai aksi, salah satunya aksi demo. Seperti tahun-tahun sebelumnya, May Day tahun ini kaum buruh di Indonesia turun ke jalan. Bukan hanya buruh, bahkan mahasiswa pun ikut turun demi menuntut kesejahteraan mereka.

Dilansir dari Detik.com (1/5/2021), elemen buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melayangkan petisi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan presiden Joko Widodo agar pemerintah segera mencabut UU Cipta Kerja yang sangat merugikan nasib para buruh. Detik.com (1/5/2021) menambahkan melalui Presiden KSPI Said Iqbal yang menyatakan, “Setelah menguji materi dari 69 pasal terdapat 9 isu prioritas dalam klaster ketenagakerjaan. Setelah di sahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja pada Oktober tahun lalu terjadi kasus di beberapa pabrik merekrut buruh pekerja kontrak dan outsourching, bahkan bagi karyawan tetap status itu berlaku.”

Setiap tahun pada peringatan May Day, buruh menyampaikan aspirasinya demi menuntut kesejahteraan. Tapi, yang didapatkan para buruh hanya harapan palsu dan kekecewan dari pemerintah yang tidak bisa memenuhi tuntutan mereka. Ditambah lagi dengan pengesahan UU Cipta Kerja oleh pemerintah. Pemerintah selama ini diduga kuat hanya fokus kepada pengusaha-pengusaha yang membangun usahanya di negeri ini. Fokus dalam melancarkan kegiatan industri perusahaan dan menomorsekiankan nasib para pekerja yang menyewakan jasanya di perusahaan.

Baca Juga:Suka Duka Guru Mengajar di Masa Pandemi Covid-19Sambut Idul Fitri, Aqua Subang Berbagi dengan Masyarakat Sekitar

Hal ini terjadi karena aturan kapitalisme yang menjadi sistem yang mengatur perekonomian negeri ini. Pengusaha mendapat perhatian istimewa dari pemerintah tanpa memerhatikan kepentingan nasib kaum buruh dan rakyat umum. Kapitalisme menganggap buruh sebagai pekerja yang menjadi tulang punggung dalam sektor produksi. Sedangkan pengusaha sebagai pihak yang memekerjakannya. Akhirnya, status keduanya menimbulkan perbedaan kelas.

Sungguh miris nasib para buruh yang bekerja di bawah sistem kapitalis pada saat ini, upah yang dibayar hanya dihitung berdasarkan biaya hidup terendah (Living Cost). Upah minimum yang dibayarkan hanya sekadar untuk memertahankan hidupnya, bukan upah yang dapat menyejahterakan hidupnya. Maka, buruh akan terus mengalami kezaliman dan perampasan hak-haknya sebagai buruh oleh pengusaha dan penguasa.

0 Komentar