Mpu Tantular
Bagian ke 9
Kang Marbawi
Ketika munulis kakawin atau syair Raja Sutasoma, Mpu Tantular, Pujangga -Juru Tulis, Kerajaan Majapahit ini, bermaksud menjelaskan sebuah fenomena sosial yang dilihatnya. Juru tulis kerajaan ini menuliskan kisah Sutasoma pada masa Majapahit yang dirajai oleh Hayam Wuruk/Sri Rajasanagara (1350-1389). Dan sang Amangku Bhumi Maha Patih Gajah Mada.
Mpu Tantular secara tidak langsung melakukan kritik kekuasaan dengan kakawin Sutasoma. Kakawin Sutasoma sangat istana centris. Rakyat jelata justru hanya menjadi bagian dari cerita, dan itu sebagai korban. Ketika Raja Purusada atau Kalmasapada yang dianggap titisan raksasa, tak sengaja disajikan daging manusia sebagai santapannya. Kemudian dia menjadi ketagihan menyantap daging manusia. Sebagai sebuah simbol keserakahan yang mengabaikan hak-hak rakyat.
Kakawin Sutasoma juga menjadi bagian dari proses penggambaran realitas sosial keagamaan di lingkungan istana wilwatikta (Majapahit). Tokoh Agama Hindu-Syiwa dan Budha dijadikan bagian dari pranata kenegaraan dan kekuasaan. Mpu Tantular, melihat kekuasaan raja kadang menjadi alat untuk melakukan pemaksaan, termasuk agama.
Baca Juga:Luncurkan bjb Sugema, Kang Akur Dukung Digitalisasi Pembayaran UMKM SubangAwas! Body Shaming Bisa Berakibat Fatal
Dalam konteks kekuasaan, Majapahit, pada masanya, merupakan sebuah kekuasaan besar, adi daya. Penaklukan yang dilakukan oleh Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada adalah bagian dari rekayasa sosial untuk menunjukkan pengaruh dan kejayaan.
Fenomena sosial yang dia hadapi adalah raja memeluk Hindu-Siwa sementara dirinya dan rakyat banyak yang menganut agama Budha. Petikan pupuh Kitab Sutasoma adalah:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Berbeda-beda manunggal menjadi satu, tidak ada kebenaran yang mendua.
Pupuh 139 bait 5 Kakawin Sutasoma ini, secara teologis, Mpu Tantular menggunakan model konsep “hakekat satu” kebenaran. Walau beda jalan dalam mencari kebenaran.
Konsep tersebut dimaksudkan sebagai sebuah konsep teologis dan teori kebenaran yang satu. Tak ada kebenaran yang mendua.