JAM 09.50 WhatsApp saya ‘berkedip’ tanda pesan masuk. Rupanya dari Bu Tita Terista, mantan Kasubag Perencanaan Keuangan dan Barang Milik Daerah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Subang tahun 2017-2020.
Salahsatu ASN teman diskusi apa saja. Kami pernah diskusi panjang terkait SPPD fiktif DPRD. Jauh sebelum ada tersangka. Saya menyimpulkan, Bu Tita salahsatu ASN yang cukup melek literasi: literasi hukum dan sistem pemerintahan.
Ia mengirimkan foto potongan CLUE edisi ‘Ki Tatang Dewantara’ yang terbit di edisi cetak Pasundan Ekspres, kemarin. Rupanya Bu Tita penasaran dengan penjelasan penilaian kinerja Disdikbud Subang.
Baca Juga:Empat Cara Atasi Dehidrasi Saat PuasaMall jadi Tempat Alternatif Isi Waktu Tunggu Berbuka Puasa
“Saya cek dulu ke Irda. Benarkah nilai SAKIP dulu demikian,” tulisnya dalam pesan WA.
Dalam catatan itu, saya menulis: nilai SAKIP (Sisten Akuntabilias Kinerja Instansi Pemerintah) Disdikbud sebelum dipimpin Tatang Komara berada di level CC, di bawah C. Saya salah mencatat apa yang disampaikan Pak Kadis Tatang.
Yang benar: CC itu lebih tinggi dari nilai C.
Saya harus berterimakasih ke Bu Tita. Sampai rela jadi ‘jurnalis’ dadakan pergi ke Inspektorat Daerah (Irda) untuk ngecek nilai SAKIP di tiga kepemimpinan kepala dinas, zaman: Suwarna Murdias, zaman Kusdinar dan zaman Tatang Komara.
“Aku sudah ke Irda,” jam 16.36 jurnalis Tita memberikan data:
SAKIP Suwarna (2018): BB
SAKIP Kusdinar (2019) drop jadi: CC
SAKIP Tatang Komara (2020) malah lebih baik dari yang saya catat: nilainya BB, bukan B. Artinya pencapaian ‘Ki Tatang Dewantara’ menyamai dengan pencapaian ‘Ki Suwarna Komara’ tahun 2018 lalu.
Setelah berterimakasih, saya bertanya: mengapa di zaman ‘Ki Kusdinar Dewantara’ bisa drop ke nilai CC? Apa yang paling dominan dalam penilaian SAKIP?
Menurut Tita, yang paling dominan adalah pada faktor SDM. Zaman Kusdinar terjadi bongkar pasang SDM perencanaan. Sedangkan penilaian SAKIP dominan pada korelasi dokumen dari mulai perencanaan hingga keuangan.
Saya sendiri dalam forum diskusi Hardiknas itu menyampaikan, jangan sampai guru-guru terjebak dalam belantara birokrasi. Atau terjebak dalam drama angka-angka kinerja yang fatamorgana. Apalagi, di masa pandemi ini banyak dampak lain yang akan mempengaruhi kualitas pendidikan.