MENARIK juga. Mengikuti bagaimana cara sebuah negara bertahan, bekerjasama, mendominasi dan bahkan menyerang. Konsep ini juga bisa berlaku untuk diri sendiri atau perusahaan.
Setidaknya hal itu tergambar dalam pertemuan negara-negara grup 7 yang disingkat G7. Itulah kelompok tujuh negara terkaya di dunia. Jika kekayaan seluruh negara digabung maka 64 persen milik 7 negara itu. Entah menghitungnya bagaimana.
Tapi negara-negara lain pun mengakui. Tujuh negara ini kaya, punya kekuatan militer yang digjaya, sumberdaya yang kuat, teknologi yang lebih unggul dan negara dengan sumbangan keuangan terbesar ke PBB. Mereka adalah Amerika, Inggris, Jerman, Prancis, Italia, Jepang dan Kanada.
Baca Juga:Viral di Medsos, Wisatawan Keluhkan Mahalnya Tiket Wisata Hutan Kertas KarawangErick Thohir Menyapa: Fast Break Menuju Generasi Emas BUMN
Tapi tidak benar-benar tujuh. Ditambah Uni Eropa. Tapi karena Uni Eropa bukan negara, tapi himpunan negara di Eropa, tetap saja disebut 7. Bukan 8 negara.
Negara G7 didirikan tahun 1975. Sempat menjadi G8 ditambah Rusia di tahun 1998. Tapi kemudian di tahun 2014 berubah lagi menjadi G7 setelah Amerika marah kepada Rusia karena aksinya mencaplok Crimea, wilayah bagian dari Ukraina. Sampai sekarang Rusia belum diajak gabung lagi.
Padahal Rusia kaya, punya kekuatan militer canggih dan sederet kelebihan lainnya. Jelas jauh dibanding Italia, misalnya. Tapi tetap saja dianggap bukan ‘teman’.
Demikian pula Cina. Belum dianggap bisa bergabung G7. Malah dimusuhi. Di KTT G7 tahun ini yang digelar di Cornwall, Inggris pada pada 11-13 Juni lalu, justru menghujat dua negara itu.
Rusia dikritik karena dicurigai atas penggunaan senjata kimia dan serangan cyber secara illegal. Sedangkan Cina dimusuhi karena aksinya mengatur Taiwan. Masih dicurigai pula sebagai pencipta Covid-19 dan caranya menguasai pasar secara kotor. Tidak berdasar kaidah pasar menurut negara G7.
Jadi sebenarnya, G7 itu bukan perkumpulan negara kaya-kaya banget. Lebih karena kesamaan sikap, ideologi dan kebatinan. Karena sejarah koalisi yang panjang. Tampaknya, mereka saling mendukung dalam hal kebijakan luar negeri. Kompak. Baik dalam cara yang benar maupun abu-abu atau kontroversi sekalipun.
Di sini terlihat, AS ingin kembali berjaya sebagai pengatur dunia. Inggris ingin tampil hebat setelah keluar dari Uni Eropa dan mereka ingin disebut hero untuk dunia.