Seri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke 51 Memaknai sila keempat “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan” Bagian ke 5

Filsafat Pancasila sila keempat
0 Komentar

Dengan politik identitas, ruang publik bisa dipengaruhi. Penyematan identitas politik dan politik identitas bisa memeras dan menyingkirkan kelompok lain yang berbeda. Mendominasi arus besar kepentingan kelompok. Ya! Politik identitas (political of identity) manjadi alat untuk mengkonstruk posisi dan kepentingan suatu kelompok dalam sebuah komunitas politik.
Politik identitas kadang menjadi alat untuk bermufakat. “Kamu golongan Kami atau bukan! Kami adalah “A”, Kamu adalah “B”. Karena “A” yang terbaik! Maka mufakat harus sesuai dengan golongan Kami!” Begitu kira-kira politik identitas dijalankan.
Identitas “A” atau “B” bisa berupa apa saja. Agama, ras, kepentingan politik, suku, ekonomi, kelompok hobi, kelompok arisan atau apapun. Asal anggota merasa nyaman, tak keberatan dan tertarik untuk bergabung. Dan paling gampang adalah identitas berdasarkan agama. Mudah untuk dikapitalisasi dan menjadi mekanisme politik dalam industri politik.
Bergantung kepada yang mengidentifikasi dan kepentingan. Politik identitas adalah klaim -kuasa. Kuasa klaim yang ingin menjadikan sebuah identitas sebagai sebuah kebenaran untuk digunakan agar bermufakat. Padahal belum tentu klaim itu yang terbenar. Sebab yang benar itu hanya ada satu, entah dimana! Mungkin di bawah sajadah seorang merbot mushola atau di kain lusuh para cantrik biara atau gereja!
Siapa yang dikuasai dan menguasai. Yang mampu menyematkan identitas paling kuat, dia menjadi penguasa. Entah di dunia maya atau di dunia nyata. Sebab hampir tak ada beda dunia maya dan dunia nyata. Dan orang pun berramai-ramai mengidentifikasi diri dalam identitas sang penguasa atau arus besar. Jika begini tak ada artinya musyawarah. Sebab pasti semua akan bermufakat kepada penguasa identitas.
Mufakat bukan karena ada sematan kesamaan identitas politik atau kepentingan. Namun karena maslahat rakyat yang menjadi tujuan adanya mufakat. Sayang mufakat tak pernah mewujud bulat. Selalu ada segompal beda, karena tak sama kepentingan. Musyawarah tak selalu membentuk utuh, karena selalu ada keukeuh “mau” tak kompromi. Tak ada Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan tanpa kerendahan hati untuk berkompromi. Dan tak menyematkan identitas untuk kepentingan apapun. (250621)

0 Komentar