Keberaniannya, sikap berbeda-nya Mas Manto memang sudah terlatih dari sejak kecil. Ayahnya, yang seorang modin (tokoh kampung yang mengurus segala ritual keagamaan seperti kematian hingga menjaga hal-hal keramat), memberi contoh berharga kepada Manto kecil. Untuk bersikap terbuka, toleran dan kelak menumbuhkan jiwa plural.
Ayahnya berteman dengan seorang yang beragama kristen. Lalu dari ayahnya pula, Manto mendapat motivasi kuat untuk terus belajar. Terus mendorong dirinya, dan mengenalkan masyarakat di kampungnya tentang tata cara ibadah Islam.
Sungguh terharu, sedih dan mengharu biru membaca perjuangan Sumanto kecil yang dituangkan dalam buku ‘Mengejar Mimpi’. Perjuangan menggapai mimpinya dan menjalankan amanat ayahnya untuk sekolah tinggi. Rela berjalan berkilometer untuk sekolah setingkat madrasah tsanawiyah. Bertahan dalam kemiskinan yang keras.
Baca Juga:Sebagian Sekolah Besok Mulai Belajar Tatap Muka Terbatas di Subang, Inilah Tips untuk Orang Tua dan Anak yang Perlu DiperhatikanWaspada! Cuaca Ekstrem Sepekan ke Depan
Akhirnya, berhasil kuliah S1, S2 dan lanjut kuliah S3 di Amerika. Padahal awalnya hanya untuk mengikuti seminar, malah nekad kuliah doktoral di Boston University. Uji nyali dan jiwa bonek Sumanto memang patut dicontoh.
Seperti kebanyakan pengalaman para lulusan dari luar negeri, setelah menyandang gelar doktor dari Boston University, lamaran Mas Manto ke kampus-kampus Indonesia tidak digubris alias ditolak. Sebagian menurutnya dengan alasan tidak akademis. Lalu ada juga yang ketakutan ketularan penyakit ‘liberalis’.
Akhirnya Mas Manto menjadi peneliti dan dosen tamu di University of Notre Dame. Bersamaan itu, diterima pula di kampus lain seperti Kampus Groningen (Belanda), Aberdeen (Inggris) dan Waterloo (Kanada).
Singkat cerita, Prof Manto akhirnya berlabuh di kampus bergengsi Arab Saudi yaitu di King Fahd University of Petroleum University. Diminta mengembangkan ilmu-ilmu sosial. Hingga kini Prof Sumanto Bersama keluarganya menetap di sana. Ia pun mendirikan Nusantara Institute dan rutin menggelar kajian intelektual.
Sesekali liburan ke Indonesia dan ke kampung halamannya. Mengisi seminar dan penelitian. Di kampusnya mengajar mahasiswa dari berbagai negara seperti Bahrain, Suriah, Palestina, Sudan dan lainnya.
“Saya belum tahu mau hijrah ke mana lagi setelah ini. Bisa di Eropa atau Asia Timur. Saya suka dan menikmati hidup sebagai petualang atau akademik nomad yang berpindah-pindah dari satu kampus ke kampus lain,” begitu kata Prof Manto dalam buku biografinya.