SEPERTI penakut tapi tidak takut. Seperti bengal tapi nurut. Seperti marah tapi menasehati. Seperti selonongan tapi penuh hitungan. Seperti sangar tapi lucu. Seperti biasa tapi luar biasa. Seperti itulah sosok wartawan Budi Santoso. Kode beritanya: BDS.
Saya tidak tahu persis tahun berapa Pak Budi lulus kuliah lalu jadi wartawan. Saya tidak banyak bertanya. Sejak saya jadi wartawan tahun 2009, masih kuliah semester akhir.  Pertama kali melihat Pak Budi—begitu saya memanggilnya—sudah tampak, dia bukan setahun atau dua tahun jadi wartawan.
Tidak ada cerita tidak tahu isu. Tidak ada keluhan sulit menemukan nara sumber. Tidak ada keluhan gaji kecil. Tidak ada keluhan panas dan hujan. Tidak ada keluhan dimarahi redaktur karena mengoreksi tulisannya. Tidak ada keluhan pula diarahkan redaktur dan korlip di bawah umurnya.
Baca Juga:Apakah Hamil Kembar? Ini Jadwal Nagita Slavina Melahirkan Adik RafatharHari Ini, Rekonstruksi Kecelakaan 2 Bus Transjakarta Digelar Polisi dengan Alat Canggih
Begitulah Pak Budi yang saya kenal. Begitulah jiwa wartawan. Punya daya tahan. Jika sisi lain, misal dari gaya penulisan maupun foto, Pak Budi masih minus, tapi dari daya tahan Pak Budi ibarat tembok yang kokoh. Ibarat tonggak yang kuat. Saya sering menyebut Pak Budi ibarat tunggul. Kuat, tegar, bangga memilih jadi wartawan. Tidak goyah.
Saya melihat sendiri, bagaimana daya tahan Pak Budi. Sekitar tahun 2010 atau 2011, Pak Budi pernah menghadapi tekanan, teror dan tindakan kekerasan karena pemberitaannya.
Saat terjadi perundungan, dikelilingi belasan orang, Pak Budi mengajak saya mendampinginya. Saya mencoba melerai dan bernegosiasi. Saya sampaikan, Pak Budi hanya wartawan, berita yang sudah terbit menjadi tanggung jawab redaksi. Bukan Pak Budi sendiri.
Sebenarnya, tindakan kekerasan itu layak dipidanakan. Tapi Pak Budi tidak memilih jalan itu. Ia hadapi risikonya. Tapi perusahaan pun tidak tinggal diam. Melindungi dan mengamankannya. Saat itu, Subang tidak sekondusif sekarang.
Saya sendiri pun, entahlah, jika mengalami tindakan itu, belum tentu setegar Pak Budi. Atau bisa jadi saya tegar, tapi keluarga yang tidak terima. Setelah rehat sejenak, ia tersenyum lagi, liputan lagi. Seolah tidak terjadi apa-apa.
Dan, inilah hebatnya: tetap menyapa dan mewawancara lagi orang yang pernah melakukan kekerasan kepadanya. Tidak semua orang bisa begitu. Seperti penakut tapi pemberani dan pemaaf.