Pemerintah sudah menetapkan tarif test PCR tertinggi menjadi Rp 275 ribu sampai Rp 300 ribu.
Akan tetapi, angka tersebut dinilai masih terlalu tinggi.
Dihimpun dari Fin, bahwa seharusnya tes PCR dapat gratis.
Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3843/2021 Tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) di-Judicial review ke Mahkamah Agung (MA).
Tertuang pada SE tersebut, tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR ditetapkan sebesar Rp.275 ribu untuk Jawa dan Bali.
Dan luar Pulau Jawa dan Bali adalah Rp.300 ribu.
Baca Juga:Suka Mangga? Ini Bahaya Banyak Makan ManggaResep Donat Kentang Messes Coklat Meleleh! Anti Gagal
Tes PCR Gratis! SE Kemenkes Digugat Ke MA
Tetapi, SE itu dinilai bertentangan dengan UU Kesehatan dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Kami sudah mengajukan resmi permohonan Hak Uji Materiil ke MA. Surat Edaran tersebut memberatkan pemohon. Termasuk masyarakat Indonesia. Karena pelayanan PCR sejatinya merupakan pelayanan kesehatan tanggap darurat yang seharusnya ditanggung sepenuhnya oleh APBN/APBD (Pasal 82 UU Kesehatan). Jadikanlah PCR itu tanpa beban kepada masyarakat,” terang juru bicara Tim Advokasi Supremasi Hukum, Richan Simanjuntak di Jakarta, Senin (1/11).
Ia juga menyatakan, mempunyai kepentingan dan menyatakan keberatan.
Seperti Surat Edaran tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan juncto UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Karena Surat Edaran tersebut bertentangan dengan UU Kesehatan, otomatis bertentangan juga dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karena bentuknya seolah-olah seperti peraturan (regeling) yang mengikat dan berlaku umum,” terang Richan.
Tentu saja perihal itu menimbulkan kebingungan dan kepastian hukum. Sehingga layak dicabut. Sebab sudah melebihi dari kedudukannya sebagai Surat Edaran.
Menurutnya, pemerintah wajib menjamin pelayanan kesehatan. Termasuk biaya RT PCR tanpa kecuali dengan alasan apapun.
“Pemerintah diberikan akses seluas-luasnya untuk pemberdayaan sumber daya alam demi kepentingan masyarakat Indonesia (Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945. Itu menjadi bagian dari pemasukan ke APBN/APBD. Sehingga pemerintah harus mampu mengelola kemakmuran rakyat. Termasuk juga untuk biaya pelayanan kesehatan tanggap darurat dalam situasi Bencana Non Alam (Keppres 12/2020),” pungkasnya