SUBANG-Bantuan perbaikan rumah tidak layak huni melalui program Rutilahu menjadi sorotan. Pasalnya, bantuan program dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat tersebut membuat sang mpunya rumah perlu mengeluarkan biaya tambahan karena beberapa alasan.
Hal ini diutarakan Anggota DPRD Fraksi PDIP Subang H Adik LF Solihin pada Pasundan Ekspres, Selasa (30/11).
Menurut H. Adik, dirinya sempat kedatangan kurang lebih hampir 15 orang warga yang merupakan penerima bantuan rutilahu di Desa Rawameneng Kecamatan Blanakan.
Beberapa diantaranya mengadu dan meminta bantuan berupa sumbangan dana untuk membantu menyelesaikan program rutilahu.
Baca Juga:Dinkes Perintahkan Puskesmas Swab Test, Antisipasi Varian Baru Covid-19 OmnicronMenko Perekonomian Sebut Ekonomi dan Keuangan Syariah Tumbuh Pesat Indonesia Siap jadi Pusat Halal Dunia
“Salah satu contoh ada warga yang mendapat bantuan rutilahu dengan dana sekitar Rp17,5 juta, tetapi dalam pelaksanaanya, pembangunan rumah tersebut tidak dilengkapi dengan menyelesaikan atap rumah. Sebab tidak ada material, genting rumah, bambu dan juga paku,” jelas H. Adik.
Padahal, bantuan rutilahu tersebut dimaksudkan untuk membantu warga agar dapat memiliki rumah yang kualitasnya lebih meningkat. Akan tetapi di lapangan justru dapat dibilang membebani masyarakat karena memerlukan biaya tambahan untuk menyelesaikan pembangunan rumah yang materialnya tidak ada.
“Tentu di masyarakat menjadi masalah. Apalagi jika masyarakat yang bersangkutan memang sebetulnya membutuhkan bantuan tersebut, tetapi karena dengan jumlah nominal yang ada material kurang, pembangunan yang tidak selesai sehingga penerima manfaat harus mencari dana tambahan,” imbuhnya.
H. Adik juga menyinggung pola survey dan pelaksanaan yang dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan. Berkaca dari pengalaman, bantuan tersebut biasanya dilakukan mulai dari perbaikan atap, dinding rumah, lantai hingga pondasi.
“Jadi dilihat dulu kebutuhannya dimana, perbaikan itu tidak membangun ulang, jadi ketika kebutuhan itu mulai dari atap ya dengan dana yang ada bisa dilaksanakan secukupnya sampai mana. Kalau sekarang membangun dari awal, tapi atapnya tidak selesai. Nah itu kan jadi PR. Ini pemerintah niatnya membantu, di masyarakat bisa saja image berubah jadi bantuan yang malah menyusahkan,” ujarnya.
Ia juga mendengar bahwa hal serupa tidak hanya terjadi di satu desa. Ada desa di Kecamatan lain juga yang mengalami hal serupa. “Jadi karena material yang ada dari dana bantuan yang disediakan itu kurang pada akhirnya masyarakat penerima harus meminjam ke sana ke mari agar dapat menyelesaikan rumah tersebut,” ujarnya.