Saat saya berkunjung ke kawasan industri Surya Cipta bulan Maret lalu, manager marketingnya mengungkapkan, industri yang sudah berminat berinvestasi yaitu industri mobil listrik dari Jepang. Industri berbasis high-tech. Bukan lagi tekstil atau alas kaki yang padat karya.
Tapi lonjakan penduduk pun mendorong kesempatan lain: terbukanya market untuk UMKM, industri keuangan, perumahan/hunian dan pariwisata. Perputaran uang semakin tinggi.
Para pemegang kebijakan atau calon pemimpin kelak harus bisa merespons perkembangan itu. Menyiapkan regulasi, perlindungan pengembangan UMKM, ekonomi kreatif, pelatihan SDM angkatan kerja, link and match pendidikan dan industri, layanan publik berbasis digital hingga pembangunan infrastruktur penunjang seperti penambahan dan pelebaran jalan.
Baca Juga:Reuni dan Halal Bihalal Tars’02 Smunda Kuningan, Unfold The Untold StoryWaspada Hepatitis Akut Misterius Serang Anak, Ini Gejalanya
Kepenatan industri dengan tingkat stres yang tinggi mendorong orang untuk relaksasi. Ruang terbuka hijau dan wisata akan menjadi kebutuhan. Maka pemerintah perlu menata dan menyediakan hal itu.
Menambal jalan bolong itu perlu, tapi menyajikan keindahan, kesenian dan hiburan juga sebuah keharusan. Agar kita tetap waras, logis, gembira, tidak jadi robot apalagi zombie. Sebab saban hari, para pekerja akan berhadapan dengan target, angka produksi, menghitung marjin keuntungan, memikirkan persaingan hingga paparan radiasi gadget setiap saat.
Tapi kadang, diskusi di lingkaran elit partai bukan pada kualitas calon pemimpin yang mampu merespons perkembangan itu, tapi lebih kepada identifikasi: popularitas-elektabilitas. Minimalnya faktor ekseptabilitas dulu. Bagaimana figur itu diterima publik. Malah lebih sering berputar di persoalan “likuiditas”: apakah figur itu punya uang yang cukup likuid.
Bukan berarti elit partai tidak paham persoalan ideal dan seharusnya seperti yang diurai. Tapi mereka tak berdaya terjebak dalam praktik klientelisme. Politik transaksi antara kandidat politik dengan pemilihnya. Sebenarnya praktik itu sangat mungkin terjadi dalam demokrasi sebagaimana yang pernah terjadi di masa Romawi kuno. Berasal dari kata Clienta, yaitu kelompok yang mewakilkan suaranya kepada birokrat yang disebut patronus.
Praktik itu akan menjauhkan dari demokrasi yang substantif. Sulit mendagangkan program politik untuk kesejahteraan. Sebab publik lebih tertarik melihat sesuatu yang ditransaksikan. Kadang dibungkus dalam kalimat kontrak politik.