Misal: kelompok A bersedia memilih si calon B jika mau mengaspal gang sepanjang 300 meter. Di luar kandidat yang sanggup memenuhi permintaan itu, tidak akan dipilih atau dianggap tidak peduli.
Maka perhelatan demokrasi sering jadi pasar bebas untuk mejajakan transaksi politik. Bukan ajang adu gagasan atau adu program partai politik. Menurut para peneliti demokrasi, praktik ini lazim terjadi di negara demokrasi gelombang ketiga seperti Indonesia, India dan Brazil.
Khusus di Indonesia banyak peneliti menyebut karena faktor perubahan sistem desentralisasi. Di mana elit politik dan penguasa lokal punya kendali atas potensi sumber daya lokal dan perencanaan keuangan. Dibelokkan menjadi keuntungan pribadi dan ditransaksikan untuk mendorong kepentingan keterpilihan. Misal, kendali kepala daerah atas belanja hibah sosial yang dominan mengalir kepada kelompok pendukungnya saja, mengabaikan skala prioritas.
Baca Juga:Reuni dan Halal Bihalal Tars’02 Smunda Kuningan, Unfold The Untold StoryWaspada Hepatitis Akut Misterius Serang Anak, Ini Gejalanya
Perlu waktu agar demokrasi kita makin matang. Tapi komitmen politik untuk membuat regulasi yang melindungi kepentingan publik dan mencegah pembajakan sistem demokrasi adalah agenda yang sangat memungkinkan dilakukan. Tahap awal, sebaiknya kita sadar apa yang harus dilakukan. Agar tidak jalan di tempat.
Sebaiknya partai melakukan seleksi leadership yang sesuai perkembangan zaman dan memiliki kemampuan. Bagi mereka yang sudah menjabat, menyadari apa yang prioritas untuk dibiayai, dibangun dan dikembangkan sebagai upaya merespons kebutuhan publik.
Pupuler saja tidak cukup. Tapi harus punya kemampuan. Baik saja tidak cukup. Tapi harus mampu berbuat adil. Dermawan saja tidak cukup. Tapi harus bisa jadi negarawan.(*)
OLEH: Lukman Nurhakim
Pimpinan Redaksi Pasudan Ekspres