La Galigo adalah warisan besar suku Bugis bagi bangsa ini. Sama seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan dan warisan budaya tangible atau intangible lainnya. Ada cerita epik yang menarik tentang kehidupan manusia jaman dahulu. La La Galigo atau I La Galigo, bercerita tentang tiga dunia; Boting Langiq (Dunia Atas), Peretiwi (Dunia Bawah), dan Ale Lino (Bumi). Boting Langiq bermakna pusat langit disanalah bertahta Patotoqe, yang menentukan nasib. Peretiwi atau Toddang toja terletak di bawah dasar laut, tempat bertahtanya Guru Ri Selleq dan permaisurinya, Sinauq Toja, adik perempuan Patotoqe.
Sastra tutur kuno I La Galigo pada masyarakat Bugis Kuno dijadikan sebuah ajaran leluhur. Yang di dakwahkan oleh seorang Bissu ketika menemani tentang Batara Guru yang menjadi cikal bakal manusia Bugis turun dari “dunia atas” (botinglangi) ke bumi atau dunia bawah (bori’liung) untuk menemui istrinya We Nyili Timo. Ketika Batara Guru turun ke bumi, ia disertai seorang Bissu yang bernama Lae-lae. Bissu ini membantu Batara Guru untuk mengatur kehidupan di bumi. Berkat bantuan Bissu, di bumi tercipta aturan, norma dan etika masyarakat. Selain itu juga tercipta bahasa dan karya-karya budaya dan tradisi sebagai hasil kegiatan masyarakat.
Naskah La Galigo yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda bernomor Nederlandsch Bijbelgenootschap (NBG) 1881, ditetapkan sebagai Memory of The World oleh UNESCO.
Dijadikan rujukan utama Robert Wilson untuk menampilkan I La Galigo menjadi pementasan teater berkelas dunia. Tahun 2003, La Galigo melanglang buana. Dan dia pun menggelar pertunjukkan Teater Internasional di Singapura, Amerika, Italia dan Prancis berjudul I La Galigo hingga tahun 2005-2008. Diperankan oleh seniman-seniman Indonesia baik yang berasal dari Sulawesi Selatan maupun yang berasal dari Bali dan Jawa.
Baca Juga:Harga Bawang Merah Makin ‘Perih’, Naik Jadi Rp50.000 per KilogramBangbang Supalar: Harus Libatkan Konsultan untuk Urus Persetujuan Bangunan Gedung
La Galigo, adalah legenda besar yang diciptakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia, suku Bugis. Tak kalah dengan legenda Mesir atau legenda Yunani Kuno, yang diangkat ke layar lebar dan menjadi tontonan menarik. I La Galigo menunggu, sentuhan metaverse. Memisualkan Boting Langiq, Peretiwi dan Ale Lino, serta Saweri Gading sebagai avatarnya. Dengan begitu, Ki Hajar akan tersenyum. Sebab teori trikonnya terlaksana, jika La Galigo divisualkan dalam dunia metaverse. Ada kontinuitas dalam pewarisan budaya leluhur, dengan menerima penggunaan teknologi artificial intelligence (konvergen), melahirkan kreativitas dan inovasi budaya (konsentris), I La Galigo mewujud dalam metaverse. (*)