RELIGI– Pada sejumlah daerah, terkadang kita menemukan darah yang dimasak bersama dengan masakan lain.
Darah itu dimasak untuk menjadi pelengkap dan penyedap makanan. Sebagai orang Islam (khusus orang Islam), tentu saja mengkonsumsi sesuatu ada aturannya, yang mana aturan tersebut adalah tak lain untuk kebaikan.
Darah yang dimasak disebut sebagai marus, yakni darah (sapi, ayam, dan sebagainya) beku yang dikukus; saren.
Baca Juga:Motivasi Jusuf Hamka untuk Kunci Sukses, Rendah Hati dan Tidak SombongMitsubishi Incar Segmen Fleet Kawasan Industri Bekasi
Hukum Makan Darah Hewan Atau Marus Menurut Islam! Jangan Sembarang Makan
Seperti dihimpun dari NU Online via Fajar, dalam Agama Islam melarang orang yang beragama Islam untuk mengonsumsi atau memakan darah.
Surat Al-Maidah menjelaskan ketentuan perihal makanan yang haram dikonsumsi, salah satunya adalah darah sebagaimana yang dijelaskan di surat Al-Maidah ayat 3
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah…” (Al-Maidah ayat 3).
Dari ayat tersebut, telah jelas hukum mengonsumsi darah baik dalam keadaan mentah atau juga yang sudah dalam keadaan matang dengan sejumlah teknik pengolahan seperti rebus, goreng, atau bakar.
Sejumlah tafsir menyebutkan, bahwa masyarakat Arab Jahiliyah menuang darah hewan ternak pada usus lalu membakarnya, kemudian memakannya ketika masak. Allah mengharamkan praktik memakan darah pada era Islam.
“Hikmah penyembelihan hewan adalah penjagaan atas kesehatan manusia secara umum dan penolakan mudharat dari tubuh manusia dengan memisahkan darah dari daging hewan dan menyucikannya dari darah karena mengonsumsi darah yang mengalir hukumnya haram karena membahayakan manusia; karena darah merupakan sarang kuman dan bakteri,” (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1984 M/1404 H], juz III, halaman 649).
Beberapa ulama mengatakan, hikmah penyembelihan hewan yang menumpahkan darahnya adlah memiliki tujuan agar dapat membedakan daging dan lemak halal dan yang haram; juga pengingat atas keharaman bangkai lamtaran darahnya yang menetap pada dagingnya. (Az-Zuhayli, 1984 M/1404 H: III/649). Wallahu a’lam, (Jni)