“Mestinya ungkapkan saja. Meskipun sensitif,” katanya.
Tapi itu memang benar-benar sensitif.
Lalu soal minimnya dana Riset. Nidom mengakui. Setuju. Tapi peneliti yang sungguh-sungguh tidak boleh menyerah.
Nidom pernah mengalami sendiri. Saya sampai merinding membaca tulisannya.
Suatu saat ia terbentur persoalan: tidak punya uang. Padahal harus membeli beberapa alat penelitian. Ia tidak menyerah. Ia luncurkan surat ke satu lembaga di Jepang. Ia menawarkan diri untuk mengajar di sana. Gajinya akan digunakan untuk membeli alat penelitian.
Permohonan Nidom dikabulkan. Ia pun mengajar di Jepang selama dua minggu. Agar menghemat, ia membawa mie instan dari Indonesia. Tiap hari ia makan mie instan. Setelah dua minggu Nidom pulang bisa membawa uang sekitar Rp 100 juta. Ia beli peralatan yang dibutuhkan. Ia puas. Penelitiannya bisa berjalan.
Baca Juga:Revitalisasi Taman Mini Indonesia Indah Bentuk Dukungan Presidensi G20Kreasi Menu Baru di Harper Cikarang, Bahan Masakan hingga Penyajian Berkualitas Standar Tinggi
Membaca kisah itu mestinya para peneliti yang demo. Tapi Nidom demo dengan caranya sendiri.(Dahlan Iskan)