Tapi celoteh itu, kini tergantikan kebisuan dalam kebisingan dunia maya. Kebisingan dunia maya dalam gadget yang membisukan dunia nyata. Anak-anak tercabut dari dunia rumah yang nyata. Mereka terbang dan memiliki ruang maya yang menjadi dunia yang tak tersentuh oleh orang tua. Dan kadang orang tua pun ketika pulang ke rumah, memasuki kamar mayanya sendiri. Sama tak bertaut dengan penghuni rumah. Ada, seolah tak ada. Komunikasi menjadi seolah tak bermakna dibalut menanyakan kebutuhan masing-masing. Untuk tak basa-basi seperti di tempat lain, pun tempat darma. Tak ada komunikasi dari hati ke hati dan cengkrama bersama.
Sejatinya rumah dan penghuninya adalah tempat istirahat dan kontemplasi nurani. Merujukkan hasil darma, kebutuhan dan memadunya dalam kesederhana hidup dan laku. Membangun kesadaran dalam bingkai kepekaan terhadap sang Khalik, sesama, lingkungan dan bangsa. Mewujud dalam laku kesalehan sosial yang memberkahi sesama. Menguatkan mantra, yang menempel dalam wujud lahir adalah titipan. Yang bisa jadi akan diambil entah kapan pun, dimana pun dan oleh sebab apa pun dan siapa pun. Diambil entah karena laku diri yang menyalahi darma atau memunggungi nurani atau serakah meraih kebahagiaan materialisme. Menyisakan malu, nista, kesengsaraan dan stemple yang tak lekang waktu. Nak! Darma ini untuk masa depanmu. Masa depan yang juga ditentukan oleh laku darma orang tuamu. Pun doa. (*)
OLEH: Kang Marbawi