Pojokan 124
Batikan bergambar pelbagai tempat ibadah itu biasa. Sering terpampang dipelbagai media. Metafor toleransi. Namun, batikan gambar aneka tempat ibadah itu nempel dikain. Rencananya menjadi baju batik dinas. Didapuk sebagai simbol, metafora moderasi. Sayangnya, metafora itu berujung penolakan. Membuncah seperti luapan lahar emosi dari para penganut dan umat. Sebab simbol bisa jadi hanya disepakati sekelompok.
Rancangan kain batik itu tidak salah! Dalam konsep Heurmeunetik, kain batik itu adalah teks, yang bisa dimaknai ganda (double meaning), makna literal dan makna figurative. Bahkan Monroe Beardsley menyebut metafora sebagai sebuah miniature puisi. Dimana makna literal bermakna eksplisit sekaligus implisit. Bergantung dimana posisi pemberi makna berada.
Sebagai teks, rancangan kain batik bermotiv rupa tempat ibadah dimaknai sebagai metafora moderasi dan toleransi. Metafora itu berwusul-merujuk kepada buah dari moderasi, yaitu toleransi. Berdasarkan “Buku Saku Moderasi Beragama” terbitan Kementerian Agama, Moderasi adalah jalan tengah. Jadi moderasi beragama berarti cara beragama jalan tengah sesuai pengertian moderasi sebagai jalan tengah. Dengan moderasi beragama, seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat men – jalani ajaran agamanya. Orang yang mempraktekkannya disebut moderat. Toleran itu adalah hasil yang diakibatkan oleh sikap moderat dalam beragama. Begitu kata tafsir literal, buku saku itu.
Baca Juga:ICMI Subang Gelar Dialog Gagal Ginjal Akut Pada AnakBurger Bangor Kini Hadir di Purwadadi
Baju batik bergambar tempat ibadah itu teks yang diam. Namun dia berbicara melalui penafsir dari luar dirinya. Penafsir yang merepresentasi pandangan dan pemahaman tentang inti dari substansi moderasi beragama dan makna toleran. Pun yang tak masuk keduanya. Benar salah dari penafsir juga melingkupi tafsir sebagai teks baru dari teks diam baju batik. Tafsir-definisi terhadap moderasi beragama menjadi pangkal dari penafsir teks (baju batik tadi). Pembuat teks dan penafsir teks bisa jadi langsung jatuh kepada makna figurative dari teks yang dianggap metafora moderasi beragama. Dengan hanya menganggit tafsir toleransi yang dianggap salah tempat.
Mungkin ada tafsir baru terhadap moderasi beragama. Umpanya saja moderasi beragama dipandang sebagai sebuah cara pandang, sikap dan praktek beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa. Titik tolaknya kepada perlindungan martabat kemananusiaan (maqosid al-syariah) dan mewujudkan kemaslahatan bersama. Dengan berprinsip pada nilai keadilan dan berlandaskan konstitusi. Prinsip moderasi beragama ini bukan proyek politik beragama. Namun justru sebagai sebuah panggilan agama. Inilah substansinya.