Rutinitas yang tak pernah lewat. Bahkan kapanpun dengan siapapun dan dimanapun, tak melewatkan rutinitas itu. Rutinitas yang juga dilakoni oleh semua orang. Pun di belahan dunia manapun. Rutinitas yang memengaruhi cara berpikir dan komunikasi semua orang. Ya, rutinitas itu adalah melihat postingan di media sosial (medsos). Dalam menjalani rutinitas itu, kadang substansinya dari rutinitas itu tak banyak. Hanya melihat status medsos orang lain atau postingan di whatsapp group. Seperti itulah kira-kira salah satu rutinitas kita semua. Rutinitas yang telah menjadi candu bahkan deseas (penyakit).
Seperti pagi itu, medsos dipenuhi dengan berbagai info terkait bencana gempa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Mulai dari postingan foto kerusakan, korban dan berbagai postingan komentar terkait gempa. Termasuk mulai membanjirnya bantuan untuk korban gempa. Soal membanjirnya bantuan dalam berbagai bentuk tersebut, ini memang sudah menjadi karakter masyarakat Indonesia, sangat mudah dan gampang untuk membantu orang lain. Kita semua berduka, dengan gempa di Kabupaten Cianjur. Dan memang Indonesia rawan bencana, pun harus kuat mitigasi bencananya.
Salah satu postingan yang menarik adalah postingan terjadinya bencana gempa diakibatkan oleh adanya pindah agama masal di CianjurMendorong kesimpulan awam, gempa sebagai hukuman akibat pindah agama warga Cianjur. Atau postingan bantuan dari kelompok tertentu yang bertujuan untuk mengajak pindah agama. Postingan tersebut diteruskan berkali-kali, dengan narasi yang tendensiun. Fokus pada narasi tendensiunnya seolah mengalahkan keharusan membantu korban gempa atas kemanusiaan.
Baca Juga:Remaja dan Dunia Maya,Sudahkan Menyadarinya?Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang Perangi Stunting dengan Cara Makan Ikan
Bergerak atau bertindak atas dasar kemanusian itulah sebenarnya yang melandasi semua orang dari berbagai suku, golongan, atau agama membantu setiap bencana yang terjadi. Tanpa embel-embel kepentingan lainnya. Postingan terus menerus tentang framing tendensiun itu, seolah menunjukkan ketidakberdayaan nalar kita untuk membedakan makna fakta, mana opini, mana fakta yang diframing dan mana hoaxs. Ketidakberdayaan nalar juga bisa terlihat, dengan mudahnya kita meneruskan postingan apapun tanpa dilihat lebih dahulu dampak bagi orang lain atau dirinya jika mempostingan itu diteruskan.
Diakui atau tidak media sosial menjadikan kita kecanduan dan baperan (bawa perasaan).