Pojokan 138, NU Biasa

Pojokan 138, NU Biasa
Pojokan 138, NU Biasa
0 Komentar

“Ini sudah tradisi dari sononya, dan gak ada ruginya, mendoakan orang wafat, baca solawat atau mendengarkan sejarah Nabi bersama-sama”.

Jawaban santai dan sederhana yang tak muluk dengan dalil.

Karena memang, orang NU biasa, tak pandai membaca kitab yang bisa dijadikan dalil. Mereka hanya tahu dari “ngaji kuping”.

Karena tak mungkin mereka bisa ngopi bareng dengan pengurus atau elit NU yang berada di awang-awang itu, Orang NU biasa, hanya bisa kongkow bareng kiai kampungnya, selepas Isya atau malam Jumat (Kamis malam).

Baca Juga:Cara Menghilangkan Ketombe Basah, 8 Cara Ampuh Ini Wajib Dicoba untuk Mahkota IndahmuSalep Gatal Kulit Karena Bakteri, Inilah Daftar Salep Ampuh Hilangkan Bakteri Menurut Apoteker Terpercaya!

Sambil baca Surat Yasin, tahlilan, diteruskan “ngaji kuping” dari kiai kampung.

Ditutup dengan ngopi-ngudud jama’ah di teras musolah. Ditimpali obrolannya yang tak muskil.

Seputar kehidupan sehari-hari di lingkungan gang musola dan penghidupan yang semakin runyam.

Walau sekali-kali terlontar pertanyaan, NU mau milih siapa atau dukung siapa. Biasanya dijawab oleh kiai kampungnya, “Sudah ikut Kiai saja”.

Orang NU biasa ini, tak pernah tahu bagaimana strata sosiologis di elit NU. Ada banyak strata di NU.

Mulai dari kaca mata santri; ada yang disebut Gus, Habib, Kiai Khos, Kiai Sepuh dan Ulama Harismatik.

Atau dari kacamata birokrasi; ada pejabat yang NU, NU yang jadi pejabat atau jadi pejabat karena NU.

Baca Juga:Apakah Carx Street Sudah Rilis di Android? Sudah Donk, Berikut Spesifikasi Minimum untuk Android, Klik IniDaftar Harga Es Teh Indonesia, Teh Viral untuk Penyuka Teh, Cek Harga Terbaru di Sini

Boleh juga strata sosial dalam pandangan ilmu politik; politik NU, NU politis, politisi NU, politisasi NU atau NU yang dipolitisasi.

Atau dari kaca mata budaya NU; orang NU gila atau gila NU. Masih banyak embel-embel sosiologis lainnya. Terserah para pengamat NU saja. Orang NU biasa, masuk katagori sosiologis “jama’ah” saja.

Strata sosial paling bawah “jama’ah” ini, jumlahnya paling besar.

Konon mencapai setengah dari jumlah penduduk Indonesia ini. Jumlah yang memberkahi dan sering jadi komoditas segelintir orang.

Strata sosial di NU ini, menurut shahibul hikayat, menentukan pengaruh di organisasi para kaum sarungan.

Lagi-lagi yang diketahui orang NU biasa, hanya “ngalap barokah”. Keyakinan yang tak ditemui di organisasi lain.

0 Komentar