Tidak ditulisnya nama Soeharto lebih mengesankan perasaan dislike daripada pelurusan sejarahnya. Memang seperti dilansir dari hastamitra.org, Kolonel Abdoel Latief (wakil Letkol Untung dalam G30 S/PKI) pernah bersaksi di Sidang Mahmilti bahwa ketika pasukannya terlibat kontak senjata melawan Tentara Belanda dalam SU 1 Maret 1949, Latief yang pada saat itu anak buah Soeharto berpangkat kapten menyatakan bahwa dia bertemu Soeharto jam 12.00 di markas gerilya sedang asyik makan soto babat. Kesaksian ini sungguh lemah dan harus hati-hati dilihat sebagai fakta sejarah.
Di lain pihak, dimunculkanya peran Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta selaku pihak yang menyetujui dan menggerakkan SU 1 Maret membingungkan serta sulit dipahami. Setelah agresi militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948, Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta ditahan oleh Belanda dan dibuang ke Sumatra. Sebelumnya Soekarno sempat memberi mandat kepada Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Secara resmi PDRI terbentuk pada 22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949. Anehnya PDRI tidak disinggung dalam keppres ini.
Peran Sultan Hamengkubuwono (HB) IX sebagai penggagas SU 1 Maret dikemukakan oleh Atmakusumah Astraatmaja – penyunting buku Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (1982) dan Tim Lembaga Analisis Informasi (TLAI) yang menyusun buku Kontroversi serangan Umum 1 Maret 1949 serta kesaksian pelaku sejarah Brigjen (purn) Marsoedi yang pada saat itu berpangkat letnan. Marsoedi menyatakan bahwa ide serangan berasal dari Sri Sultan HB IX yang memerintahkan kepada Soeharto.
Baca Juga:Link Nonton Film Para Betina Pengikut Iblis Blueray 1080pTanggul Cipunagara Longsor Sepanjang 30 Meter
Pernyataan Marsoedi tentu saja bertentangan dengan fakta bahwa Kolonel Bambang Soegeng selaku Panglima Divisi/Gubernur Militer III memerintahkan pasukan dari Brigade IX dan X (Wehrkreise III) dibawah pimpinan Letkol Soeharto untuk mengadakan SU 1 Maret 1949 sesuai dengan grand design hasil rapat pimpinan tertinggi militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer III pada 18 Februari 1949.
Laporan TB Simatoepang banyak melampirkan fotocopy surat-menyurat yang penting, termasuk dari HB IX dan Panglima Besar Sudirman. Demikian juga dengan Nasoetion, yang selain melampirkan copy dari dokumen asli, juga menulis transkrip sejumlah besar dokumen-dokumen selama perang gerilya. Namun tidak ada satu dokumen pun yang menyinggung atau menyatakan keterlibatan HB IX dalam suatu operasi militer.