Fakta lain, ajaran agama yang beredar dikalangan masyarakat kebanyakan, hanya menjadi pelarian dari problem sosial yang dihadapi.
Melahirkan penerapan nilai – nilai pasif dalam menghadapi problem yang ada.
Seperti halnya menghadapi kemiskinan sosial yang diakibatkan oleh sistem sosial yang tidak seimbang (kemiskinan terstruktur).
Padahal seharusnya agama bisa menjadi sebuah pemicu pembebasan manusia dari problema manusia yang membelenggu pada saat itu.
Baca Juga:PLN dan Himbara Akan Permudah Masyarakat Miliki Motor ListrikHarga HP Samsung Galaxy S23 Series 5G dan Galaxy S23 Ultra Harga, Lengkap Deretan Hacks yang Bikin Ngiler!
Pojokan 142, Sakralisasi profan
Menariknya, pandangan kontroversi Karl Max yang memusuhi agama -agama adalah candu, dan Weber yang mendukung kapitalisme, justru mendapatkan paradoksnya saat ini.
Realitasnya kadang agama dijadikan alat untuk memobilisasi penggerak sekaligus komoditas.
Penopangnya di abad artificial intelegent (AI) ini adalah berbagai jenis platform media sosial.
Agama sering kali dikemas dalam gaya pop yang memiliki nilai komersial dan menghibur.
Lihat saja banyak lagu religi, fashion, reality show dan gaya hidup yang sering ditayangkan dalam berbagai platform media.
Disini bisa diartika bahwa komodifikasi agama, bisa menjadi penggerak atau motivasi seseorang dalam melakukan sebuah aksi atau tidakan.
Hal ini dianggap sebagai salah satu bentuk keshalehan sosial yang tidak bertentangan dengan aturan negara dan ajaran Islam.
Hal menarik lagi adalah ketika simbol-simbol agama itu, membentuk dan merekontruksi identitas keagamaan seseorang.
Baca Juga:Menu Mixue Ice Cream, Es Krim Viral Pencari ‘Hati’ Kosong, Cek di Sini Maret 2023Link Google Form Lucu, Kumpulan Link Lucu Google Form Mulai Tes Bucin, Tes Depresi dan Tes Psikopat
Bahkan hal-hal profan tersebut, disakralisasikan bahkan dibumbui dengan ideologi. Yang profan terideologisasi dalam konteks bagian dari “hijrah” atau rekontruksi identias agama.
Semula agama bukan barang komoditi yang bisa diperdagangkan di area publik.
Namun kemudian, dikomodifikasi untuk memenuhi kepentingan tertentu (politik atau ideologis) atau kepentingan pasar atau gaya hidup.
Komodifikasi hal-hal yang profan menjadi seolah-olah sakral dan ideologis itu menjadi fenomena saat ini.
Komodifikasi yang profan menjadi area sakral, melahirkan pembelahan sosiologis para penganut.
“Ini islami sesuai syar’i dan itu tidak syar’i”.
Sehingga agama menjadi fashion, komodifikasi religiusitas, menjadikan identitas baru dalam keagamaan.
Mengkapitalisasi yang profan menjadi opini public dan menyeretnya menjadi ranah teologis-ideologis. Sakralisasi yang profan.
“Yang sakral itu adalah berkhidmat kepada kemanusiaan sebagai jalan terdekat menuju Tuhan”. (Kang Marbawi, 11.03.23)