Pojokan 149, Tempat Penyembahan
Sore itu, diujung bulan Ramadhan tahun ini, saya mengantar istri, arisan ibu-ibu warga gang di salah satu perumahan di Bekasi Utara.
Jumlah hanya 18 orang saja peserta arisan. Duduk memangku si kecil, di teras rumah Pa Yazid -tetangga sebelah. Tak lama datang Pa Malende -juga tetangga sebelah.
Obrolan pun gayeng bersambut, soal-soal keseharian warga gang. Hingga sampailah kepada persoalan tempat ibadah jemaat Pa Malende yang sejak tahun 2008 tak kunjung usai, mendapat izin pendirian tempat ibadah.
Baca Juga:SAH! Lucky Hakim Resmi Mengundurkan Diri Dari Wakil Bupati IndramayuSelama Libur Lebaran, Kunjungan Ke Masjid Raya Al Jabbar Mencapai 124.758 Orang
Pak Male -sebut saja begitu, kemudian curhat (mengungkapkan isi hati tentang satu permasalahan) soal izin untuk pembangunan tempat ibadah jemaatnya tak kunjung selesai.
Padahal sudah sejak tahun 2008 mereka mengajukan izin pendirian.
Namun hingga saat ini, “hilal” persetujuan-nya pun tak kunjung terlihat. Sehingga, Pak Male dan jemaatnya terpaksa menempati ruko untuk tempat ibadah.
Curhatan soal sulitnya membangun tempat ibadah, lumrah dan sering terjadi di tanah air tercinta ini.
Bahkan berujung kepada tindakan anarkisme oleh sekelompok vigilante -seseorang atau sekelompok yang main hakim sendiri, yang menolakan pembangunan tempat ibadah agama lain.
Atas nama sejarah, menjaga kondisifitas dan persoalan administrasi pemenuhan persyaratan perizinan hingga kekhawatiran penyebaran agama, menjadi salah satu dasar dari penolakan berbuntut anarkis.
Entah sampai kapan, penolakan pada tempat ibadah para penyembah Tuhan ini terus berlanjut.
Padahal yang disembah adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Bukan yang lain. Yang berbeda adalah cara menyembah dan cara mengimani Tuhan Yang Maha Esa itu. Dan tak seorang pun berhak menghakimi, caranya yang paling benar.
Baca Juga:Ridwan Kamil Tunjuk Bernardus Sebagai Kepala BP Rebana, Ini Tugasnya!Doa Puasa Qadha Ramadhan, Qadha Secepatnya Walau di Bulan Syawal, Ini Keutamaannya
Namun setiap pemeluk wajib membela keyakinannya tanpa harus meniadakan keyakainan liyan. Pun harus menghargai cara penyembahan dan yang disembah oleh “lian”.
Orang yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap Tuhan Yang Maha Esa, adalah orang baik.
Suara orang baik yang ingin menyembah Tuhannya, berhadapan dengan sekelompok yang ingin Tuhannya “tak terganggu” dengan adanya tempat ibadah lian.
Padahal, Yang Maha Esa itu tak pernah terganggu dengan para penyembah-Nya atau yang tak pernah menyembah-Nya. Apalagi soal tempat menyembah-Nya.