PASUNDAN EKSPRES – Sejarah malam satu suro dilatarbelakangi oleh sejarah penanggalan Islam dan upaya Sultan Agung Hanyokrokusumo untuk mempersatukan rakyat Jawa.
Malam Satu Suro menjadi perayaan yang kaya akan tradisi dan makna. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi asal usul tradisi ini, serta bagaimana perayaan Malam Satu Suro dilakukan di berbagai daerah di Jawa.
Perayaan Malam Satu Suro: Awal Mula dan Maknanya
Pada tanggal 1 Muharram, penanggalan Hijriyah pertama kali diperkenalkan oleh Khalifah Umar bin Khattab setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Baca Juga:Tradisi Malam Satu Suro: Merayakan Awal Tahun Baru Jawa dengan Budaya dan Kepercayaan KhasBupati Subang Rotasi Mutasi Sejumlah Pejabat Eselon II III, dan IV
Pada masa Kerajaan Demak tahun 931 H atau 1443 Jawa, Sunan Giri II melakukan perubahan pada sistem penanggalan dengan menggabungkan penanggalan Hijriyah dan penanggalan Jawa.
Perubahan ini dilakukan dalam upaya untuk mempersatukan rakyat Jawa, terutama dalam konteks perlawanan terhadap penjajahan Belanda di Batavia.
Sultan Agung Hanyokrokusumo adalah salah satu penguasa Jawa yang berperan penting dalam mempersatukan golongan Santri dan Abangan.
Ia menyadari pentingnya keberagaman ini dan berusaha menciptakan persatuan di antara mereka.
Untuk mencapai hal ini, pemerintah daerah menyusun laporan pada hari Jumat, sementara bupati memberikan pernyataan resmi.
Selain itu, pemakaman dan ziarah ke makam Ampel dan Giri juga menjadi bagian dari tradisi ini.
Oleh karena itu, tanggal 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang jatuh pada hari Jumat Agung dianggap sakral dan dihormati.
Baca Juga:DKP Jabar Galakan Vegetasi Pantai, Ridwan Kamil: Menahan Abrasi dan Mempertahankan PeradabanTak Masuk Zonasi padahal SMAN Terdekat dan Satu-satunya, 39 Anak Desa Banggala Mulya Subang Terancam Tak Lanjut Sekolah
Hal ini dianggap sial jika hari tersebut digunakan untuk hal-hal lain selain mengaji, haji, dan transportasi.
Tradisi Khas Malam Satu Suro di Berbagai Daerah
Malam Satu Suro memiliki tradisi yang berbeda-beda tergantung pada daerah di mana perayaan ini dilakukan.
Di Solo, perayaan ini sering kali ditandai dengan ritual adat, arak-arakan kelompok masyarakat, atau karnaval.
Salah satu keunikan perayaan ini adalah adanya hewan khas yang disebut “kebo” (kerbau).
Kebo Cebu, yang juga dikenal sebagai Bule Cebu, menjadi daya tarik utama bagi warga untuk menyaksikan perayaan malam pertama Suro.