PASUNDAN EKSPRES – Di sudut beranda rumahnya, Hatta menangis sesegukan. Teringat sahabatnya yang sendiri di Wisma Yaso.
Kesendirian yang hanya dibarengi dengan berbagai penyakit akut dan rintihan kesakitan.
Tanpa teman apalagi keluarga. Sahabat yang bersama dengan dirinya menjadi pembuka kemerdekaan negara yang begitu dicintai sahabat dan dirinya.
Padahal dirinya tahu, sahabatnya tak bisa hidup sendiri.
Baca Juga:Alat Permainan Edukatif, Kembangkan Kemampuan Motorik dan KognitifJadwal Film Bioskop Hari Ini September 2023, Sedang Tayang! Cek Jadwal Sekarang Juga
Sahabat yang satu ini adalah tipikal orang yang harus menyampaikan gagasan-gagasan besarnya kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Juga terbiasa di kelilingi orang-orang. Pun orang-orang senang mengelilinginya.
Salah satunya karena kharisma dan gagasan-gagasan besar sahabatnya ini.
Sebelumnya, permit dari penguasa yang menjadi penghalang untuk menjenguk sahabatnya.
Keinginan untuk menemui sahabatnya tak tertahankan.
Diapun menuliskan surat permohonan untuk menemui sahabatnya.
Dia tahu, surat ini harus ditulis dan disampaikan kepada penguasa, karena sahabatnya adalah tahanan politik.
Tak bisa sesiapapun leluasa menemuinya. Padahal dulu, siapapun bisa dengan leluasa menemuinya.
Hatta menoleh kepada istrinya dan berkata:
Permit itu keluar. Hatta datang sendiri ke kamar sahabatnya di Wisma Yaso. Sahabatnya yang hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal akut.
Ketika membaca dialog dua tokoh proklamator di Wisma Yaso ini, saya pun mencucurkan air mata. Ikut melow kata anak milenial sekarang.
Sejatinya saya merasakan suasana psikologis dua orang tokoh bangsa yang bercampur aduk.
Antara rindu, kemarahan, semangat, cintanya yang besar terhadap bangsa ini, dan ketidakberdayaan terhadap keadaan.
Baca Juga:MANJUR! Cara Ubah Password WiFi IndiHome Lewat Hp Tercepat!Komitmen PGEO dalam Transisi Energi Bersih dan Berkelanjutan Diapresiasi Komisi VI DPR RI
Ironis dan tragis, itulah dua kata yang mungkin pas disematkan kepada tokoh proklamator kemerdekaan Bangsa yang besar ini.
Suasana psikologis itulah yang mungkin saya tangkap dan membuat melow.
Sahabatnya membuka mata.
Hatta terdiam dan berkata pelan “Bagaimana kabarmu, No” kata Bung Hatta tercekat dengan matanya yang sudah basah. (saya berkaca-kaca sambal menahan segukan di dada).