Sahabatnya berkata pelan dan tangannya meraih lengan Hatta.”Hoe gaat het met Jou?” kata Bung Karno dalam Bahasa Belanda -Bagaimana pula kabarmu, Hatta.
Bung Hatta memegang lembut tangan sahabatnya dan mendekatkan wajahnya.
Air mata Hatta menitik ke wajah Bung Karno. Putra sang Fajarpun menangis seperti anak kecil. Dan saya pun ikut menangis.
Di sebuah kamar yang bau dan jorok, dua tokoh proklamator bangsa ini menangis,.
Kamar itu, saat ini telah berubah menjadi museum, menjadi saksi ada dua orang yang pernah berjuang bersama untuk memerdekakan bangsa ini, di akhir hidupnya bersua dalam keadaan yang menyesakkan dada.
Baca Juga:Alat Permainan Edukatif, Kembangkan Kemampuan Motorik dan KognitifJadwal Film Bioskop Hari Ini September 2023, Sedang Tayang! Cek Jadwal Sekarang Juga
Esoknya Bung Karno tak kuasa menahan derita. Sang Proklamator wafat dalam kesendirian dan dikucilkan oleh penguasa. Seolah Bung Karno menunggu Hatta untuk pamit.
Sama seperti Ketika Proklamasi 1945, Bung Karno menunggu Bung Hatta di kamar untuk membaca Proklamasi. Ahir hidup Dwi tunggal yang ironis, diperlakukan tak manusiawi.
Perlakuan orang-orang Belanda terhadapnya lebih manusiawi.
“Tetapi justru, oleh karena Soekarno memiliki kekuatan rohani yang amat dalam dan kemauan yang amat kuat, siksaan semacam ini masih bisa ditanggulanginya .
Secara fisik ia bisa dihancurkan, tetapi mereka tidak akan bisa memusnahkan jiwanya.
Dalam hal ini ia tetap hidup,” begitu surat Ratna Sari Dewi Soekarno kepada penguasa di Paris pada April 1970 .
Soekarno akan tetap hidup membersamai bangsa ini hingga penghujung zaman.
Soekarno mewarisi falsafah Bangsa yang telah menjadi kesepakatan agung Bangsa, Pancasila. Seokarno bermetamorfosis dalam ideologi Bangsa. Tanpa Pancasila bangsa ini akan hancur.
Soekarno begitu mencintai bangsa ini. Sehingga Ketika ada yang memprovokasi untuk melakukan perlawanan terhadap represif penguasa, Soekarno tegas berkata:
Baca Juga:MANJUR! Cara Ubah Password WiFi IndiHome Lewat Hp Tercepat!Komitmen PGEO dalam Transisi Energi Bersih dan Berkelanjutan Diapresiasi Komisi VI DPR RI
“Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit, jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita.
Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu…keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara”. tegas bung karno kepada ajudannya.