PASUNDAN EKSPRES – Mulai 1 Januari 2025, pemerintah Indonesia akan memberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Langkah ini dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan rasio penerimaan pajak (tax ratio) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang selama ini dinilai masih rendah. Namun, apakah kebijakan ini mampu memberikan dampak signifikan pada ekonomi negara?
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa kenaikan tarif PPN ini sesuai dengan amanat UU HPP. “Sesuai amanat UU HPP sesuai jadwal yang telah ditentukan tarif PPN akan naik 12% per 1 Januari 2025,” ungkapnya dalam konferensi pers, Senin (16/12/2024).
Meski demikian, kebijakan ini tidak berlaku untuk semua barang dan jasa. Barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, telur, dan ikan, serta jasa pendidikan, kesehatan, keuangan, dan asuransi akan tetap bebas dari PPN. Untuk beberapa barang seperti tepung terigu dan minyak goreng, tarifnya tetap di angka 11%. “Jadi tidak naik ke 12%, begitu juga tepung terigu dan gula industri,” tambah Airlangga.
Baca Juga:Festival Sewindu Galuh Pakuan 2024: Rayakan Seni Jaipong Kreasi dan Muay Aerobik Nusantara Tingkat NasionalHarga PPN Naik 12% Tahun 2025! Langganan Netflix dan Spotify Ikut Terdampak
Di sisi lain, barang-barang mewah akan dikenakan tarif penuh 12%. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kebijakan ini sejalan dengan asas keadilan dan gotong royong, di mana barang premium seperti daging wagyu, kobe, ikan salmon, tuna, serta udang premium akan dikenakan tarif baru. “PPN 12% dikenakan untuk barang dan jasa mewah yang dikonsumsi masyarakat mampu,” ujarnya.
Harapan pada Tax Ratio yang Lebih Tinggi
Kenaikan PPN ini diharapkan mampu mendongkrak tax ratio Indonesia, yang saat ini berada di angka sekitar 10%. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan bahwa tax ratio Indonesia sebenarnya bisa mencapai 12,2% dari PDB jika pemerintah mengoptimalkan belanja perpajakan. “Pemerintah itu bisa kumpulkan 10,4% ditambah 1,8%. Berarti itu adalah 12,2% dari PDB,” jelas Suahasil.
Namun, realisasi tax ratio yang rendah bukan hanya soal tarif pajak. Berdasarkan data dari Suryani Suyanto & Associates, meskipun tax ratio meningkat menjadi 10,38% pada 2022 pasca pandemi Covid-19, selisih antara tarif PPN dan tax ratio Indonesia masih negatif, yakni -0,6%. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan pajak belum optimal dibandingkan dengan tarif yang diberlakukan.