Autis

0 Komentar

Oleh: Dahlan Iskan

“Saya tidak bisa bernafas!”
Teriakan George Floyd di Minnneapolis itu tidak bisa diucapkan Iyad Halak di Israel. Iyad ketakutan luar biasa: laras senjata mengarah ke dirinya. Ia lari. Ditemukan tewas di ruang persembunyian.
Polisi memang sudah memperingatkannya: untuk membuang senjata di tangan Iyad. Polisi juga memerintahkan agar Iyad angkat tangan.
Tapi Iyad tidak memahami itu. Ia seorang pemuda berkebutuhan khusus: mengalami autisme.
“Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!….” tujuh tembakan mengarah ke dirinya.
Ia tewas.
Itulah yang dialami Iyad Halak. Di kota lama Jerussalem Timur. Saat Iyad hendak berangkat mengikuti pendidikan untuk orang berkebutuhan khusus.
Koran-koran Israel pun menjadikan peristiwa itu berita besar. Berhari-hari. Apalagi beberapa hari kemudian ada peristiwa di Amerika itu: George Floyd itu. Yang sudah berteriak “Saya tidak bisa bernafas” tapi terus saja lehernya ditindih dengkul polisi kulit putih di Minneapolis.
Floyd yang kulit hitam tewas di dengkul polisi.
Iyad yang Palestina tewas di moncong senjata polisi Israel.
Kini polisi Israel itu ditahan. Untuk dilakukan pengusutan. Atasan regu itu semula juga ditahan. Tapi dilepas hari itu juga –mengaku sudah melarang penembakan itu.
Si polisi juga ingin selamat. Ia membantah keterangan atasannya itu. Ia juga beralasan di tempat penembakan itu sering terjadi perlawanan orang Palestina pada polisi.
Hari itu si polisi takut orang yang lagi lewat itu membawa senjata. Terbukti posisi tangannya di dada.
“Tiap hari ia memang kami minta membawa ponsel. Agar kalau perlu pertolongan bisa menghubungi keluarga,” ujar ayah Iyad, seperti dikatakan pada harian The Times of Israel.
Iyad yang mendekap ponsel itu dikira menyembunyikan senjata. Iyad yang mengalami autisme dikira tidak patuh pada perintah.
Keluarga Iyad hanya bisa marah-marah. Apalagi lantas ada demo anti-rasis di Amerika.
Maka di Jerussalem pun muncul demo pro-Iyad. Meski jumlahnya hanya sekitar 100 orang. Yang juga dengan mudah dibubarkan.

0 Komentar