Memaknai Sila Kedua “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”
Bagian kesepuluh
Rinno
Rinno (33 tahun) bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang pengamen “Boneka Mampang” di perempatan jalan. Perempatan Jalan Prangtritis, Ring road Ketandan, Bantul-Jogjakarta, menjadi lokasi utama shownya. Bahkan seisi kota, kadang menjadi wilayah kerjanya. Ya, Rinno bukan Anne Avantie, juga bukan Alissa Wahid atau sedikit pesohor lainnya yang memiliki empati dan kekuatan besar untuk membantu sesama.
Rinno tak punya dana untuk mengentaskan, membantu dan membela sesama atas nama kemanusiaan. Rinno hanya seorang pengamen, dengan dua orang anak. Penghasilannya hanya kisaran Rp. 20 ribu – Rp. 50 ribu perhari, tak tentu. Jauh langit dan bumi dengan para pesohor, pejabat, artis, orang kaya bahkan mungkin kita para pembaca kolom filsafat Pancasila di Pasundan Ekspres ini.
Lalu apa yang menarik dari Rinno, pemuda asal Cilacap ini? Kerjaan cuma jadi pengamen Boneka Mampang di perempatan jalan. Penghasilan cuma Rp. 50 ribu, itu pun seringnya cuma “20 ribu perak”. Rinno hanya mampu menyisihkan penghasilan dari mengamen di perempatan jalan “5 ribu perak”. Sisihan uang tersebut dia kumpulkan. Dan jika sudah cukup, dia membeli makanan seadanya, untuk diberikan kepada orang lanjut usia (lansia) dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Panti Yayasan Anugerah Tuhan Hafara di Desa Trimulyo, Jetis, Bantul. Bahkan Rinno menyuapi mereka dan menghibur para lansia dan ODGJ di panti itu. Dan tak dijadikan konten media sosial untuk kepentingan advertising pribadi. Murni dan tulus. Titik.
“Jika semuanya egois, mementingkan diri sendiri, yang penting dia selamat dari situasi sekarang, maka manusia akan kalah dalam pertarungan melawan pandemi ini,” guman Rinno.
Ya, kemanusiaan adalah soal menanggalkan egoisme. Keadaban adalah soal tidak mementingkan diri sendiri dan nyari selamat sendiri. Keadaban adalah keberanian untuk bertarung melawan egoisme pribadi. Keadaban adalah keberanian untuk berkorban kepada sesama ketika kondisi seadanya. Keadaban adalah adanya cinta kasih kepada sesama, empati tanpa prasangka, tanpa sekat klasifikasi sosial. Apapun klasifikasi sosial yang memenjarakkan, mengotakkan dan membedakan manusia atas nama strata ekonomi, politik, agama, paham, suku, bangsa atau apapun.