MAAF agak terlambat menuliskan ini. Banyak sekali yang harus diurai dari diskusi penanganan banjir Pantura yang digelar di Grha Pena Pasundan Ekspres, Jumat 26 Februari lalu. Nara sumber yang hadir pun cukup kompeten mengurai permasalahan ini. Mulai dari pejabat Pemkab Subang, tokoh masyarakat Pantura, politisi hingga legislator. Saya harus mengakurasi sejumlah data untuk menuliskannya.
“Maaf saja, pemerintah memang bodoh!” pernyataan ini pecah di forum diskusi terbatas itu. Tentu membuat yang hadir tambah fokus. Itu pernyataan dari tokoh Pantura, mantan kepala desa, Sudihartono. Ia berani menyimpulkan begitu karena sudah merasa bosan dilanda banjir. Walau memang rumahnya sebenarnya tidak pernah kebanjiran karena posisinya di dataran agak tinggi. Langganan jadi tempat pengungsian saat banjir.
Sebab kata Sudi, banjir sudah terjadi berkali-kali. Sejak puluhan tahun lalu. Tapi tidak pernah selesai dan ada solusi paten. Karena itulah Sudi menyebut pemerintah bodoh. Diperkuat oleh praktisi hukum Endang Supriadi yang menegaskan bahwa banjir sudah terjadi sejak tahun 1979.
Baca Juga:Julie Estelle dan David Tjiptobiantoro, Menikah di MaladewaAda yang Hadiri KLB, DPC Demokrat Karawang Lapor DPP
“Saya ingat waktu kecil, banjir dari tahun 79 di Pantura sudah terjadi. Hanya waktu itu tidak sebesar ini. Wajar kalau masyarakat sekarang marah. Tapi kalau ingin mengajukan class action mengggugat pemerintah harus dilihat buktinya, apakah ini kelalaian pemerintah atau bukan. Harus jelas faktanya, bukan tidak bisa,” kata Endang.
Sudi bahkan sempat mengungkap upaya-upaya pemerintah mengatasi banjir yang tidak pernah tuntas. Ia menyebut, di tahun 2006 saat dirinya menjabat kepala desa, Bupati Eep Hidayat sudah membeli lahan untuk membuat kolam retensi mencagah banjir, jalan penguhubung ke Tegalurung Pondok Bali dan lahan untuk TPA di Pamanukan. “Tapi mana kelanjutannya? Lahan padahal sudah dibebaskan,” tambah Sudi lagi.
Tentu sudah jadi tugas Kepala BP4D Harry Rubiyanto melakukan pembelaan atas tuduhan ‘pemerintah bodoh’. Di forum itu kepala badan yang masih muda ini dengan cekatan menjelaskan bahwa pemerintah tidak diam.
Harry pun bercerita tentang geramnya Bupati Ruhimat karena langkah dari Pemerintah Pusat yang lambat untuk menangani banjir. Terutama dalam perbaikan tanggul. Sebab kewenangan perbaikan tanggul dan sungai berada di tangan BBWS, Lembaga ‘sekelas’ UPTD dari Kementerian PUPR. Ia pun menyebut arahan-arahan dari bupati untuk penanggulangan banjir. Termasuk di antaranya pembuatan kolam retensi.