Seri Belajar Filsafat Pancasila ke 38
Oleh: Kang Marbawi
“Bangsa adalah keluarga spiritual (jiwa) yang tidak ditentukan oleh bumi. Dia lahir dari upaya-upaya masa lalu, pengorbanan dan pengabdian.”
H.A.R. Tilaar.
“Cintailah sesamamu, seperti engkau mencintai diri sendiri”. Begitu agama-agama mengajarkan umatnya.
“Cintailah tanah airmu, karena itu akan menunjukkan seberapa besar keimananmu kepada Tuhan”. Itu juga bagian dari ajaran agama.
Baca Juga:Nasib Guru Honorer Kembali DipertaruhkanData Tak Transparan, Wabah Tak Kunjung Hilang
Seorang ustadz di musola kampung mengajarkan itu kepada anak-anak kampung yang mengaji ba’da Maghrib. Bisa jadi para Pendeta, Romo, Bikhu, dan tokoh agama lain pun mengajarkan kasih sayang dan cinta tanah air.
Agama, mengajarkan pertautan hati kepada sesama. Pertautan hati yang tak mengenal identitas suku, agama, paham, geografis atau segregasi sosial lainnya. Pertautan hati menjadi kata kunci, untuk saling menghargai, menghormati dan mengasihi sesama. Tanpa membedakan sesiapapun.
Pertautan hati yang melahirkan keihlasan untuk membantu sesama, berkorban dan mengabdi untuk sesama. Tanpa pamrih. Pertautan hati yang melahirkan rasa empati, saling tolong menolong, bergotong royong. Tak ada empati, tak ada menghargai dan tak ada gotong royong jika tak ada pertautan hati.
Pertautan hati hanya akan hadir jika menyadari spirit ajaran agama untuk menjaga ukhuwah basyariah – persaudaraan kemanusiaan. Ukhuwah yang lahir dari pertautan sesama manusia dan menjaga nilai kemanusiaan. Walau kadang agama dijadikan alat oleh kepentingan, keserakahan dan kedangkalan pemahaman sekelompok pemeluknya untuk memisahkan hati. Agama yang dipahami sekedar ritual kosong tanpa makna akan menyebabkan hati terluka dan tak bertaut. Bahkan melukai nurani kemanusiaan.
Maka pertautan hati inilah yang dijadikan oleh Joseph Ernest Renant menjadi fondasinya terbentuk sebuah bangsa. Pidatonya di Universitas Sarbone tahun 1882 M, Qu’est-ce qu’une nation. “Apa itu bangsa?”. Pidato yang melahirkan gelombang nasionalisme di kawasan. Juga melahirkan nasionalisme berlebihan, fasis.
Anak nelayan ini merumuskan paham bahwa suatu bangsa bukan didasarkan hanya atas sejarah emas masa lampau. Namun juga karena adanya keinginan untuk hidup bersama dan pertautan hati manusia yang hidup di atasnya -dengan segala latar belakang sosial, agama, etnisitas. “Le desir de’etre ensemble”, satu kehendak yang sama untuk bersatu.